Rabu, 06 November 2013

Realita Kehidupan suku mee



A. Pengantar.

Mengutarakan bahan realita kehidupan merupakan berangkat dari pengamatan kenyataan hidup masyarakat secara obyektif spesifik. Perlu mengetahui juga bahwa, bila melihat eksistensi budaya suku Mee maka secara mendasar dapat dikategorikan bukan satu-dua hal saja tetapi masih banyak yang kita perlu melihat, mempelajari lalu membenahi. Agar supaya dapat tercipta suatu kondisi-kondisi bukan bergantung harapan akan tetapi semangat berusaha mempertahankan sesuai iringan perubahan transisi budaya. Kesempatan ini kami akan mengetengahkan realita hidup “dide wudi” sebagai rambu/komando secara sederhana terbatas tidak secara ilmiah terperinci. Gambaran konkrit yang kita bisa menarik intinya adalah perbandingan proyeksi kedepan antara ‘dide wudi’ atau ‘proposal’.

Dalam perbandingan kondisi dulu, kini dan kedepan, mana yang kita prioritaskan antara ‘dide wudi’ dan ‘proposal’. Sekarang kembali kepada kita untuk melihat kembali dan menggagaskan untuk membangun serta mempertahankan nilai-nilai kebersamaan itu. Kami tidak menarik semacam ketegasan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan akan tetapi langsung saja mengajak kepada pribadi kita untuk berpikir kolektif sesuai iringan perubahan sekarang, lalu mencari solusi terbaik.

Sebelum tafsirkan salah satu hal atau kedua hal maka terlebih dahulu perlu mencermati antara kedua hal tersebut. Pemilahan dapat dilakukan secara obyektif atas kedua hal, setelah itu akan lebih efektif untuk melihat ke apa dan yang mana terbaik untuk merangkul kebersamaan itu. Dalam mewujudkan dan membangun wilayah pemerintahan Paniai, rakyat setempat dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat sendiri.

B. Suatu Pandangan.

Merangkul kebersamaan hidup di daerah yang baru berkembang itu tidak segampang membalik telapak tanggan tetapi harus dilandasi melalui budaya masyarakat setempat dan juga tidak boleh berpikir yang besar (ilmiah) cukup berpikir sederhana saja. Kesederhanaan itulah yang akan mengantar dan menciptakan suatu kondisi masyarakat sempurna maka kita sama-sama melirik cara ‘dide wudi’. ‘Dide wudi’ dipandang salah satu cara sederhana yang menyatukan antar pribadi demi membangun kebersamaan sambil mengkristalisasi persaudaraan yang mendasar. Makna tersebut dapat kita saksikan sesuai dengan muatan ‘nota’ didalam noken ‘ute/agiya’. Hal ini merupakan kreatifitas masyarakat terdahulu untuk menciptakan suatu kebersamaan antara sesama masyarakat itu sendiri. Maka dengan demikian, kita bersyukur dan melestarikan serta mempertahankan cara-cara hidup sederhana, didalam menata, membangun kebersamaan dan persaudaraan sambil menyesuaikan, mempelajari segala perubahan pada kondisi ‘transisi’ ini.

Angin proposal yang ditiupkan melalui pemerintah daerah kabupaten itu dapat terbaca membangun kondisi-kondisi yang memanjakan. Pada dasarnya proposal sangat efektif bila membuat patokan pra-syarat yang lengkap, jelas, tegas dan bertanggung jawab. Pemikiran itu pun dapat berpikir ketika membandingkan kondisi terbangun ‘proposalisasi’ dan semua sudah kenal. Kami tidak bermaksud membatasi tetapi, seyogyanya mana yang terbaik agar supaya dapat membuat proposal dengan bunyi sasaran kegiatan yang betul-betul jelas. Jelas dan tidaknya pun bukan persoalan akan tetapi kita sama-sama memilah kondisi bahwa, setelah mengenal cara membuat proposal dan sebelum mengenalnya. Lalu kemudian mana yang mendatangkan keuntungan kepada masyarakat dan juga kepada pemerintah daerah kabupaten kedepan.

Boleh terapkan konsep atau strategi baru, asal tidak boleh lepas, lupakan begitu saja tentang apa yang kita punya. Sekali lagi tansisi budaya suku Mee merupakan perubahan perbuatan manusia Mee itu sendiri dengan cara, sikap, kelakuan kita untuk menerima dan menerapkannya. Budaya suku Mee dapat dikategorikan sebagai kombinasi statis progresif dan dinamis progresif, maka dapat kembali kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat.

Dikatakan pemerintah daerah, perlu diketahui bahwa terbentuknya pemerintahan daerah karena adanya wilayah, rakyat yang berbudaya, adat, bahasa serta latar belakang dan cara-cara hidup nya yang khas. Pada prinsipnya pemerintah daerah harus bersyukur atas potensi yang ada untuk berprinsip membangun segala aspek sambil menyesuaikan segala kelebihan dan kelemahan yang ada. Proteksi harus menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomis, berpolitik, demokrasi, yang masyarakat secara adat miliki.

Disini dapat mempertegas secara sederhana saja (bukan secara ilmiah) bahwa, Apakah dalam kondisi yang tidak menentu ini perlu melihat kembali potensi yang kita miliki ataukah malas tahu sebab itu kuno? Bila memandang kuno, dengan dasar pemikiran apa dikatakan kuno lalu konsep apa yang anda/saya terapkannya? Dengan cara bagaimana kita memulai untuk membangun kebersamaan diatas pondasi budaya kita demi kembangkan segala kreatifitas masyarakat didalam wilayah pemerintahan yang sedang ‘transisi’?

C. Mari berpikir dari diri.

Pada bagian ini kami mengajak untuk melihat pada diri ‘aniki mei me atau akiki mei me’ ‘saya siapa sebenarnya dan kamu siapa’. Hal ini penulis tidak bermaksud untuk mangajak berpikir ‘urusanmu itu bukan urusanku dan sebaliknya tetapi mengajak mari melihat dirimu terlebih dahulu lalu melihat diri sesamamu yang lain. Berarti mewujudkan nilai kebersamaan itu akan nampak dan keharmonisan akan tumbuh ditengah-tengah kita. Mulai berpikir dari apa yang ada pada diri saya dan apa yang ada pada diri masyarakatku/mu lalu dapat berpikir secara global. Diketahui juga bahwa, berpikir untuk diri bukan berarti membatasi semata-mata pada dirinya saja akan tetapi berpikiran untuk menglobal sambil memihak terhadap masyarakat, lingkungan sekitar, serta segala atribut yang kita miliki secara adat. Segala atribut, bisa membedakan bahwa hal apa-apa saja yang bisa pertahankan nilai-nilai kekhasan dan hal-hal apa saja yang perlu di rekonstruksi kembali sambil menyesuaikan dengan perkembangan kini.

Perkembangan kini, pemerintah daerah mengarahkan masyarakat tanpa melihat usaha kegiatan mereka secara jelas tetapi mendesak kamu harus buat proposal nanti kami (pemerintah bantu dana) berarti itu sama saja memanjakan sekaligus mematikan kreatifitas masyarakatnya sendiri. Kemudian masyarakat lupakan segala kelebihan (bugi tai dimi, ekina muni dimi, koya owapa miyou ga kiya ke dimi gai dimi, eda wagi dimi, dll) yang dimiliki dari sejak moyang orang Mee. Akhirnya kebiasaan turun-temurun dari generasi ke generasi untuk hidup bertahan melalui usaha berkebun, beternah, dalam masyarakat (suku Mee) akan hilangkan dengan sendirinya. Apakah kita salahkan kehadiran pemerintahan atau masuknya agama, ataukah orang-orang yang nota bene putra daerah yang duduk didalam?. Penulis tidak memancing untuk menciptakan pemisahan antar pemerintah dan masyarakat tetapi, sengaja utarakan untuk melihat dan mencari solusi yang cocok sesuai dengan kondisi wilayah, masyarakat sambil mengedepan nilai-nilai, norma-norma yang kita miliki.

Sebelumnya terbangun pemikiran dikalangan masyarakat, kehadiran kabupaten berarti penyelamat hidup kami, jadi untuk apa saya kerja cape-cape keluar keringat. Kabupaten ada berarti tugas saya adalah harus buat proposal muda toh kenapa pikir susah kerja diatas kertas koh. Kondisi sudah terbangun seperti ini berarti kita salahkan siapa? apakah para orang yang munculkan ide pemekaran kabupaten ataukah para pejabat didaerah. Kalau berpikir secara murni, arif, bijaksana, terbentuk kabupaten administratif Paniai bersamaan dengan beberapa kabupaten tetangga lainnya waktu itu merupakan solusi membuka daerah terisolasi. Maka dengan ini, pencapaian terbentuknya kabupaten Paniai dapat disambut dengan sikap terbuka oleh seluruh komponen masyarakat Paniai akan tetapi sikap masyarakat belakangan terlihat berubah menjadi tertutup ragu. Keterbukaan dan kepolosan mereka pihak pemerintah daerah Paniai tidak jelih melihatnya untuk mengkonstruksikan kedepan, sesuai “Paniai Aweta Ena Agapida”.

Keraguan yang dialami oleh masyarakat itu bisa dilihat dari sikap pemerintah daerah yang sudah menjauhi dari kenyataan hidup masyarakat suku Mee dan suku lain yang ada di wilayah kabupaten Paniai. Lebih jelasnya, pemerintah tidak membuka diri untuk melihat kelebihan dan kelemahan yang ada didalam masyarakat itu apa saja lalu mensikapi sambil mencari solusi.

Penghayatan hidup yang dialami masyarakat suku Mee dan beberapa suku di Papua dapat diukur dengan eksistensi dan realita hidup yang dimilkinya. Lalu dapat menyatuh dengan apa yang kita miliki seperti “DIDE WUDII”. Dalam praktek dide wudii atau pembagian porsi atau bagian untuk menjalani kenyataan hidup didalam pemerintahan dan masyarakat harus diandalkan sesuai prinsip-prinsip atau norma-norma yang dimilikinya. Jangan dianggap kuno atau primitif bila menerapkan prinsip/norma adat dalam masing-masing suku (khusus suku Mee). Zaman yang tidak menentu harus berpijak atas aspek produktif untuk berpikir sikap produktif dengan kondisi kini. Jangan serong dari peluang strategi untuk menghidupkan cara kita dide wudii yang dipandang paling pas/cocok bila menerapkan pada zaman sekarang.

Realitas hidup suku Mee dalam bentuk “dide wudii” atau membagi porsi tanpa dikurangi atau melebih dari porsi yang ada merupakan realisasi dari wujud keadilan, kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan dll. Bila ada keberpihakan kita untuk realisasikan nilai-nilai atau norma-norma adat yang mendatangkan manfaat akomodatif suku Mee sendiri harus diterapkan dari kalngan pemerintahan lalu ttutunkan ke masyarkat. Misalnya, berarti dapat berpegang teguh pada nilai-nilai untuk memupuk kebersamaan komunal sambil mewujudkan “dide wudii” itu sendiri dalam berbagai hal.

D. Wujud Kebersamaan.

Pada bagian itu penulis tidak menganalisis secara ilmiah sebagaimana seperti biasanya para ilmuwan. Tetapi nilai kebersamaan yang kita simak secara sederhana tetapi seksama adalah: wujud kebersamaan biasa-biasa saja ‘dide wudi’ tetapi punya makna mendalam melalui simbol noken kecil ‘Ute/agiya’ yang selalu isi ubi ‘nota’. Masyarakat suku Mee kalau mau ke kebun pertama pikirkan itu, ‘ute/agiya’ kedua alat gali ‘wadi’ lalu kemudian gali ubi ‘nota ubai’ dikebunnya sendiri. Selesai gali bersihkan ubinya lalu kemudian diisi dalam ‘ute/agiya’. Nota yang banyak itu dapat disatukan dalam ‘ute/agiya’ lalu membawa pulang kerumah. Diketahui bahwa dirumah ada tamu tetapi itu bukan persoalan bagi tuan rumah namun

 berpikir untuk membagi rasa melalui hasil keringatnya itu. Terlihat merasa puas dengan hasil kebun dirasakan saat membagikan nota yang sudah diisi dalam ‘ute’. Tuan rumah memiliki rasa tanggung jawab untuk membagikan nota itu agar semuanya mendapatkan bagian yang sama tanpa kekurangan. Tanpa mengalami kekurangan disitulah dapat terlihat kepuasan secara bersama-sama dan juga terbangun rasa kebersamaan dan kekeluargaan secara langsung maupun tak langsung.

Penulis tidak mengutarakan secara lengkap tetapi ini untuk sekedar ketahui. Sekarang giliran untuk pemerintah dan masyarakat di Paniai. Apakah pemerintah Paniai dapat membagi porsi pembangunan itu secara baik dan benar untuk mencapai suatu pemberdayaan dan kesejateraan masyarakatnya sendiri untuk mencapai harapan enai mo ani gou/aweta ena agapida? Lalu kini posisi masyarakat Paniai sudah dimana? Apakah ada dampak negatif dan positif istilah ‘dide wudii’ dan ‘proposal’ dalam menjalankan tupoksi pemerintah Paniai, ditengah masyarakat yang tahu adat?

Dalam kenyataan hidup suku Mee, bisa melihat kembali sebagai patokan dengan istilah “DideWudi”. Dide wudi adalah membagi porsi atau bagian secara merata antara satu dengan yang lain tanpa ada praktek monopoli baik itu antara kaya (tonowi) atau miskin (daba) akan tetapi memperoleh hak yang sama dalam peraktek dide wudi. Contoh riil yang terjadi didalam masyarakat suku Mee (suku-suku lain di Papua) dalam membangun kebersamaan komunal masyarakat baik intern-suku maupun ekstern-suku. Melalui beberapa orang atau satu dua orang dapat menyatakan wujud nyata “dide wudi”. Sebab mereka mengambil hasil kebun yang mereka punya, lalu isi didalam noken kecil “ute” setelah itu dapat menggumpulkan menjadi satu. Kemudian setelah itu hasilnya dapat membagikan kepada sesama yang lain secara tulus.

Dide wudi ini, dikenal secara turun-temurun dari sejak moyang masyarakat suku Mee melalui terjadi kontak batin antara satu dengan lain untuk mencapai kepuasan/kenyang dari lapar. Realisasinya tanpa memandang kedudukan baik orang kaya (tonowi) dan orang miskin (daba bage), rumah berdampingan untuk jadi pembantu dalam kerja-kerja harian orang kaya. Rumah laki-laki (ema owa/yamewa) ditengah-tengah rumah kaum hawa atau istri-istri (kewita/dagu), maka itu segala perhatian untuk membagi porsi atau bagian sesuai peruntukan tidak datang dari salah satu saja tetapi dari semua wanita.

Wujud kasih, “dide wudi” melalui sumbangan bagian nota-ubi yang diantar ke rumah laki-laki. Terjadi tanpa ada unsur paksaan dari siapapun seperti biasanya kalau waktunya tepat dapat membagi namun terlebih dahulu mengetahui jumlah orang yang ada dirumah laki-laki (yamewa) melalui anak-anaknya. Untuk mengetahui berapa orang yang ada didalamnya agar nantinya tidak mengalami kekurangan. Wujud kasih yang terjadi dapat terlihat dan terasa sekali ketika kantong (noken kecil-agiya ute) diisi dengan ubi (nota) lalu mengantarkan ke rumah laki-laki. Bentuk kasih yang datang dari rumah wanita (kewita) bukan suatu hal yang baru tetapi cara hidup mengasihi yang sudah tumbuh sejak jaman moyang orang Mee.

Kini sudah jarang terlihat tetapi masih ada praktek saling membangi bagian saya kepada sesama saya yang lain secara spontan (kini terlihat tidak sistematis seperti dulu) didalam masyarakt suku Mee dan sebaliknya kepada suku-suku lain.

1. Dasar “Dide Wudi”.

Mengetahui mengenai pendekatan kebutuhan dasar “dide wudi” berarti manusia tumbuh dari usaha pencarian suatu strategi pembagunan yang bisa lebih efektif dalam menangani persoalan yang dialami masyarakat untuk mewujudkan pembangunan itu sendiri sesuai peruntukan, perencanaan program demi mencapai target pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Mencapai kebutuhan mendasarkan secara maksimal seharusnya Paniai harus memiliki strategi dan target program sesuai norma-norma, prinsip-prinsip, nilai-nilai adat. Namun selamai ini dari sejak terbentuknya kabupaten Paniai 1996 ibukotanya Enarotali, tidak jelas agenda program pembangunannya. Biarpun ada program pembangunan akan tetapi sasaran yang hendak dicapainya tidak jelas, seharusnya strategi demikian itu mampu membalikkan kecenderungan ketidakmerataan yang semakin meningkat dalam masyaraakat yang sedang berkembang.

Menatap kondisi keberadaan pemerintah Paniai dimasa transisi ini seyogyanya menghidupkan cara hidup sederhana yang sudah kenal, menyatu dengan masyarakat suku Mee agar bisa menikmati kesejahteraan dan mencapai kemakmuran rakyat secara adil merata. Untuk menujuh pemberdayaan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur atas prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai” artinya bekerja bersama, membangun bersama, untuk menciptakan suasana hidup bersama.

Untuk mencapai prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai”, bila memahami arti kata seperti ini, akan kembali pada pembagian porsi sesuai peruntukan sasaran yang ada. Porsi yang dikenal ada biaya anggaran-anggaran pemerintah daerah, operasionalnya melalui instansi terkait maka berupaya untuk merealisasi berdasarkan sasaran program kerja tanpa menghambat atau mempengaruhinya harus ada garis komando (kontrol secara jelas, tegas dan bijaksana) atas kewibawaan sebagai pimpinan.

‘Dide wudi’ kita pahami bahwa pembagian porsi yang dapat melalui pemerintahan daerah kabupaten/kota, atau lewat orang-orang kepercayaan masyarakat harus bersifat humanis dalam menata, membenahi segala persoalan porsi ‘dide’ yang ada didalamnya. Lalu kemudian akan membangun kebersamaan, kekeluargaan untuk menata dan membangun kebersamaan atas wilayahnya. Istilahnya saling bahu-membahu asal membedakan porsi-porsi (dide) secara jelas, agar dalam penafsiran pembangunan kedepan pun dapat terlaksana tanpa ada hambatan diantara konsep dan program operasional didaerah.

Dalam tulisan singkat ini kami mencoba mengutarakan gambaran sederhana dan tentu saja mungkin tidak sepadan dengan pelaku pengambil kebijakan pembagunan didaerah. Kami berkeyakinan bahwa untuk membangun suatu wilayah itu gampang-gampang sulit (tidak muda membalik telapak tangan kita) sebab disana kita akan menghadapi dengan berbagai macam persoalan. Persoalan tersebut, baik yang sudah ada dan persoalan yang baru ada setelah pemerintah kabupaten itu terbentuk. Maka dengan demikian kami mencobah menggambarkan dalam bentuk sederhana untuk lebih jelas koordinasi pengawasan kerja secara top doun dari atas (Bupati) maupun bottom up dari bawah (kabag sebagai bawahan dan masyarakat sebagai pemacu proses pembangunan), seperti berikut:


Ti Pek,03

Setelah mencermati gambaran sederhana diatas maka perlu memikirkan tentang pendekataan kebutuhan pokok masyarakat yang mendasar. Perlu menyadari juga bahwa kita belum terlambat untuk merubah dan memulai kebijakan tegas untuk menentukan kedepan “hendak membawah kemana”, apakah kita berhenti, memusuhi antara kita, ataukah sama-sama tentukan“ belum terlambat mari menatap untuk membangun Paniai. Setelah memahami kondisi masyarakat sekitar lalu mencari solusi pemecahan persoalan yang ada. Salah satu solusi melihat dan memecahkan persoalan adalah “dide wudi” sebab tantangan langsung dan tak langsung dalam kesejahteraan masyarakat sudah menghantui dengan segala usaha pintas.

Dengan demikian memenuhi kebutuhan masyarakat disegala sektor kehidupan, jangan berfikir menghayal sampai ke kota metropolitan tetapi harus melihat dari perut masyarakatmu yang sedang lapar lalu keluar. Gambaran pemikiran secara alami perlu hidupkan kembali dalam kondisi kini yang serba sulit menujuh kesejahteraan dengan motto yang indah mendalam diatas kertas itu.

Berarti saatnya untuk kembali merenung pengalaman hendak membawah kemana pemerintahan serta rakyatnya yang ada didalam. Kita sebagai sesama manusia yang sama tanpa merendahkan antara kita maka merekapun secara terbuka bisa menginstrospeksi diri sebagai pemimpin putra daerah. Hal seperti ini dari kita untuk masyarakat kita maka mari melihat secara mendalam memimpin pemerintahan, dimana memiliki kekuatan kekuasaan atas wilayahnya serta masyarakatnya disegala aspek kehidupan yang ada didalam struktur kepemerintahan secara lembaga pemerintah, lalu kemudian komparasikan kedalam kondisi daerah setempatnya.

2. Dasar Proposal.

Disini tidak memberikan ketegasan dasar proposal, akan tetapi sekedar pandangan agar bisa mengetahui untuk jadi bahan merenung. Secara jujur, proposal yang kini dikenal seluruh komponen lapisan masyarakat ini mengundang pertanyaan. Proposal itu apa sebenarnya? Dengan adanya istilah proposal kini, apakah ada jaminan hidup lebih baik atau tidak?

Proposal, jelas tulisan diatas kertas yang mengutarakan berdasarkan keinginan, kebutuhannya yang membutuhkan. Yang jelas perincian biaya barang-barang lalu tutup dengan bunyi jumlah total rupiah. Ironisnya, orang sibukan diri dengan proposal lupa segalanya baik itu berkebun, beternak, berpikir untuk membuat pagar, menanam kopi dan lain-lain. Angin proposal, bunyinya sangat menarik namun kenyataannya tidak jelas, merupakan pelajaran buat pemerintah untuk mencari solusi. Salah satu solusi harus ada pengawas melalui instansi terkait yang selalu siap turun ke lokasi untuk mengecek langsung, sambil memberikan penyuluhan atau dalam bentuk lain. Setelah melihat hasil lalu membantu sesuai permintaan yang diutarakan dalam proposal tersebut.

Ide untuk menyarankan buat proposal ini sangat bagus, apabila itu menunjang segala kreatifitas masyarakat yang ada. Kondisi nyata, justru karena proposal mematikan segala kreatifitas yang sudah ada karena segala harapan fokuskan pada proposalnya. Jadi istilah “berkebun, berternak” berubah jadi “proposal” dan disitu tidak akan terbangun, daya kreasi hidup membuat rumah, kebun, berternak, pun dilupakan begitu saja.Jadi kasarnya akan tumbuh pemikiran/anggapan gampang.

Proposal tersebut ini, tidak memancing pemisahan berpendapat akan tetapi menyatukan persepsi lalu melihat segala eksistensi manusia itu sendiri. Agar supaya, eksistensi manusia itu dapat dipertahankan dengan segala kreasi, hidup aman, bersama, kekeluargaan, demokratis, tanpa bergantung kayak “kepeigo” dalam menjalani hidup. Jadi intinya, usaha yang dapat mengeluarkan keringat dapat bermanfaat ketimbang usaha yang berpikir kertas dan alat tulis.

3. Melalui Eba mukai artinya:(Pengumpulang dana)

Eba mukai tidak langsung lakukan tetapi, terlebih dahulu dapat mengutarakan alternatif-alternatif melalui orang yang memahami persoalan. Lalu kemudian mencari solusi penyelesaian melalui eba mukai. Cara hidup ‘eba mukai’ dapat terlihat ketika pada saat-saat tertentu. Dimana saat tertentu yang dapat mengahadapi persoalan-persoalan. Persoalannya, yakni membayar mas kawin, menyelesaikan perkara, membiayai anak sekolah, dan lain-lain. Cara pelaksanaannya dapat menyumbangkan uang (mege) berapapun diatas ‘eba’ yang ditebarkan diatas tanah.

Praktek ‘ebamukai’ dapat hidupkan saat apapuan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dalam masyarakat. Jadi eba mukai dapat terlihat, secara spontan menggerakkan hati kepada orang-orang yang ada disekitar untuk menyumbangkan. Sumbangan yang disumbang dinillai berharga sebab menyelesaikan persoalan. Dan juga cara ‘eba mukai’ dapat mempererat hubungan kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan bermasyarakat secara mandiri.

4. Berkebun bersama ( Bugitai enaimo ).

Pertama sebelum mengetahui kebutuhan pangan terlebih dahulu harus mengetahui keberadaan masyarakat suku Mee. Keberadaan suku Mee secara geografis dapat diapit oleh beberapa gunung, lembah dan danau yang mendatangkan manfaat lipat ganda dalam mencukupi kebutuhan pangan. Dengan cara berkebun dan beternak babi. Pemenuhan kebutuhan (hidup) pangan masyarakaat suku Mee, dapat terlihat ketika menyatuh dengan alam melalui cara membuat pagar, bersihkan ladang, membakar pada bagian-bagian yang sudah dibersihkan, lalu mulai tanam ubi, keladi, sayur, pisang, dan lain-lain ditanami sesuai kebutuhannya. Akhirnya terbentuk suatu ladang atau kebun, maka pemilik harus menjaga dan merawat dengan penuh tanggung-jawab sampai mengambil (panen) hasil kebunnya. Dalam memenuhi dan mempertahankan hidupnya pun mereka harus berusaha untuk mengeluarkan keringat. Keringat yang disita tidak sia-sia begitu saja tetapi bisa diukur juga dengan produksi yang setimpal melalui hasil panen kebunnya.

Jadi perlu mengetahui bahwa kebutuhan pangan yang dikenal masyarakat suku Mee melalui cara bercocok tanam bukan hal yang baru. Sudah lama mengenal cara hidup berladang atau berkebun permanen dilahan-lahan yang memproduksi hasilnya sesuai pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, tidak dibatasi bagi mereka pemilik saja akan tetapi hasilnya dapat dinikmati bersama dengan tetangga masyarakat yang lain.

Lalu setelah terbentuknya kabupaten Paniai masyarakat adat maka upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat guna untuk memenuhi kebutuhan pangan? Apakah ada upaya lain dari pemerintah untuk membangkitkan semangat kreatifitas masyarakat untuk berkebun, beternak, dan lai-lain?

5. Beternak (muniya agiyo)

Kreasi untuk mempertahankan dan mengembangkan peternakan babi dapat dihidupkan sebaiknya. Kalau tidak apa yang terjadi, kehidupan masyarakat adat setempat tidak bertahan hidup permanent atas usahanya. Masyarakat Mee dapat menampilkan kebolehannya melalui usaha beternak babi, sebab dengan usaha ternak babi bisa mendatangkan harta. Dan juga membangun relasi antara lingkup keluarga atau sahabat melalui, iyobai, mune, pekanapo, dan lain-lain.

Dengan melalui adanya ternak itu, membuat orang Mee tidak bisa kemana-mana dengan perhitungan bahwa kalau saya pergi nanti siapa yang memperhatikan ternak saya. Dan juga membentuk komitmen diri atas ternak. Biasa saja titipkan ke orang lain tetapi sering muncul perasaan bahwa kalau saya tidak memperhatikan berarti nanti tidak sehat.

6. Ekonomi ( Edepede )

Kebutuhan ekonomi (edepede tiya duba) yang dikembangkan pemerintah daerah, tidak lain mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pada kesempatan ini, penulis mempertegas sampai dimana kredibilitas pengambil kebijakan didaerah untuk mencapai sasaran kesejahteraan secara merata. Kita belum terlambat untuk memulai kembali sambil merefleksikan diri, apakah selama ini betul-betul memperhatikan kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya kesejahteraan pribadi, keluarga dll.

Kebutuhan ekonomi masyarakat merupakan hal mendasar untuk penentu kehidupan masyarakat kedepan. Mencapai target kesejahteraan dan pemberdayaan untuk menempu hidup yang diidealkan harus memulai dari penguatan basis-basis kreatifitas masyarakat setempat. Sambil mengenal kelebihan dan kelemahan yang mereka miliki untuk kembangkan kreatifitas usaha masyarakat setempat.

Dulu dalam suku Mee dapat mengenal “duwa uwii/jawi” dalam rangka mencari kulit bia/siput untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga. Tampat yang menjadi sasaran cari kulit bia/siput di pantai selatan dan pantai teluk cenderawasi. Saat mereka tinggalkan rumah orang rumah selalu menjaga kebersaman agar dalam perjalanan suami bisa sukses. Ujud kebersamaan yang istri pegang adalah tidak boleh bersihkan keluar kotoran yang ada didalam rumah sebelum suami kembali kerumah.

7. Bermusyawara dan Berdemokrasi (enaimo, ena mana wegai).

Bermusyawara dan berdemokrasi yang dibangun masyarakat suku Mee, bukan hal baru tetapi sudah kenal ada cukup lama. Bermusyawara dapat terjadi kapan saja untuk mencapai kesepakatan bersama. Bermusyawara yang diandalkan orang Mee tidak muda dan tidak singkat pula, sebab dalam bermusyawara harus mengutarakan segala alternatif, baik itu kaya-miskin demi untuk mencapai sasaran dan kesimpulan yang memuaskan. Mengandalkan saling mendengarkan untuk memahami makna yang diutarakan, kalau tertarik dan menyentuh sasaran, dipandangan pendengar maka minta diulang-ulang sekali lagi karena “berbobot” mana enano enama weegai.

Berdemokrasi yang dibangun dalam budaya suku Mee, dapat terlihat ketika terjadi demokrasi merakyat untuk menampung segala masukan-masuk. Demokrasi merakyat dalam suku Mee dapat mengutarakan segala bahasa, pandangan, gagasan, lalu menghimpun segala masukan-masukan tadi. Kelebihan yang ada, saling mendengar “dengar pendapat” dari berbagai lapisan, baik itu suara dari orang kaya, orang miskin, orang yang hidup sederhana, perempuan, tanpa memandang kelas, prinsipnya untuk mencapai hidup berdemokrasi.

Bila memahami pemikiran simpel bermakna diatas ini, kini kembali kepada pelaku pengambil kebijakan pembangunan dikabupaten Paniai. Apakah bermusyawara dan berdemokrasi budaya suku Mee itu masih hidup atau tidak? Bila dipandang tidak, solusi apa yang dipakai pemerintah daerah selaku penggerak pembangunan kabupaten Paniai ini? Kalau demikian proteksi apa yang diterapkan pemerintah daerah agar “musyawara dan demokrasi” itu terbangun antara pemerintah dan masyarakat (keterlibatan semua lapisan masyarakat)? Demi mencapai program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah daerah harus melalui keterlitabatan masyarakat didaerah, jangan sepihak semata.

Pertanyaan diatas, dapat dijawab sesuai “karya nyata” bukan diminta jawab diatas “kertas” untuk diucapkan sebatas “kata-kata”. Sebab dalam masyarakat “berbudaya” selalu menyesuaikan dengan apa yang mereka miliki dan apa yang dilakukan sesuai “perbuatan karya nyata”. Itupun kalau keluar dari nilai budaya yang menunjang bagi mereka berarti dapat dipahami bahwa transisi budaya suku Mee itu betul-betul terjadi.

Tolok ukur yang menjadi dasar dalam membenahi segala kelemahan dan kelebihan, harus melalui bermusyawara dan berdemokrasi. Tanpa musyawara dan berdemokrasi atas segala fenomena yang terjadi disekitar kita berarti diambang perpecahan atas harta budaya suku Mee itu sendiri.

8. Konstruksi Rumah ( Owaa migi ).

Kemandirian masyarakat suku Mee dapat dilihat eksistensi membangun rumah ditempat-tempat moyang mereka. Sebagai warisan dapat dipilah secara jelas melalui marga/klen (tuma pepe) untuk mengakui status tanah (owa komouda) dan rumah yang ada diatasnya. Oleh karena itu, perumahan masyarakat suku Mee tidak seperti pembangunan program pemerintah yang terlihat seragam teratur. Kini sepertinya memandang rumah adat orang Mee tidak sesuai dan dipandang primitif. Seyogyanya, harus ada upaya produktif pengembangan rumah semi-modern dengan motif rumah adat orang Mee, kalau tidak berpikir kesana berarti tinggal tunggu kenangan.

Secara terbuka dapat mengakui perumahan permanen masyarakat suku Mee dikenal dan dibangun secara alami dengan hasil alam setempat tanpa mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk mendatangkan bahan dari luar, seperti paku, semen, daun sent, gergaji dan lain-lain. Rumah adat dan rumah bentuk baru dapat diukur sesuai fungsi lama-cepatnya bertahan, membandingkan rumah yang dibuat secara alami (adat suku Mee) dan rumah motif inovatif dapat terlihat perbandingannya dari bentuk fisik cepat-lamanya bertahan.

Melalui bidang teknis dinas pekerjaan umum atau kimpraswil seyogyanya mengembangkan perumahan rakyat yang merakyat sesuai kondisi alam setempat. Jangan asal dengan melihat bunyi anggaran proyek besar akhirnya menggelabui istilahnya kejar proyek. Jadi program pembangunan secara lokal ada maupun baru datang dari luar pada prinsipnya harus mempelajari kondisi alam terlebih dahulu sebelum memulai dan merencanakan program pembangunan. Kemudian bisa memperkirakan sambil memperhitungkan untung-rugi yang akan mengalami dalam proses pembangunan transisi yang dialami oleh masyarakat suku Mee jadi jangan asal.

Kalau tidak menghargai eksistensi keberadaan masyarakat suku Mee dengan rumah permanent layak tinggal seperti asal bangun tidak berumur berarti masyarakat suku Mee itu dikategorikan jadi apa atau dibuang kemana?

9. Pendidikan (Topiya/akatope`).

Pendidikan yang dikenal masyarakat suku Mee adalah pendidikan informal dan pendidikan formal. Pendidikan informal dalam suku Mee sudah kenal sejak lama melalui, cara membuat panah, cara membuat noken, cara beternak, buat kebun, dll. Pendidikan formal dapat mengenal sejak pengaruh luar masuk di wilayah Paniai.

Pendidikan formal sebagai penentu maju-mundurnya perkembangan mutu kualitas sumber daya manusia lalu kemudian mengisi menjadi penggerak estafet pembangunan bangsanya. Sebab, pendidikan formal yang ditempuh secara sistematis adalah bekal untuk membangun kondisi masyarakat yang dulunya dipandang tertinggal menjadi maju melalui putra-putrinya yang sudah, sedang dan akan sekolah itu.

Pendidikan Informal yang sudah kenal oleh masyarakat adalah cara pendidikan yang sudah ada (alami yang masyarakat kenal/miliki) sebelum adanya kontak pengaruh luar dan dapat dijadikan dasar atau pondasi untuk petahankan sambil menyesuaikan dengan perkembangan pendidikan formal yang kita kenal sekarang.

E. Penutup.(mumai yago)

Penutup bukan berarti mengakhiri segala gagasan tersebut itu sempurna dan terjawab akan tetapi diatas ini belum mendasar apalagi menyentu, tetapi penulis berkeyakinan bahwa saudara dan saya kita bisa membenahi tanpa menilai-nilai. Gagasan sederhana diatas merupakan rambu-rambu awal dan sebagai tahap awal untuk kita berpikir mengoreksi kemudian rekonstruksikan sesuai dengan yang sebenarnya. Pada kesempatan ini pun saya tidak bersifat tegas atas pandangan gagasan tersebut sebab ketegasan ada disaudara dan saya untuk menata dan membenahi sesuai perubahan transisi yang terjadi, kondisi dinamis mengajak untuk memilah yang bermanfaat dan merugikan.


 Mee ko, owa ageida make, dimi yamo gai, wadogai tiya , yuwoda ka dimika ko, ena ma peuma koyoka
Pustaka:
Wordpressobaipayavet@gmail.com


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SUKU MEE

suku Mee di paniai

Budaya memang harus di lestarikan namun untuk melestarikanya kita membutuhkan suatu komitmen dan rasa memiliki dalam diri seseorang individu. Budaya pada dekade akhir-akhir ini merupakan suatu wacana memang jarang di perbincangkan oleh banyak orang mengapa karena mereka mengangap bahwa itu merupakan hal klasik dan merupakan suatu momok memalukan untuk diri mereka sendiri. Mengapa mereka tidak mau meleatarikan budaya mereka ? beberapa alasan yang mendasari mereka adalah:
  1. Manusia adalah menjadikan budaya sebagai suatu momok yang memalukan.
  2. Budaya bagi mereka tidak akan memberikan keuntungan dalam hidup mereka.
  3. Budaya bukan bagian dari hidup mereka dalam arti bahwa budaya bukanlah waktu buat merekan dalam konteks bahwa zaman modern.
  4. Budaya hanya banyak berbicara masalah orang-orang kampung saja.
  5. Budaya bukanlah milik mereka namun itu hanya milik orang kampung dll.
karena budaya di miliki oleh setiap manusia dan pastinya berbeda. Budaya mee adalah salah satu adopsi dari beberapa budaya dan tradisi yang terdapat di pegunungan tengah papua masyarakat mee. Tujuan dari Suku mee sendiri terbentuk dan ada di dunia adalah untuk menjaga dan melestarikan budaya ini bukan menjadi pengikut budaya lain. Suatu tradisi akan muncul ketika seseorang mendapat masalah atau problem dan bagaimana dia mengahadapi dan memecahkan masalah tersebut. Maka cara orang itu menyelesaikan masalah itu yang akan menjadi suatu tradisi dalam suku tersebut. Maka jasanya itu akan dijadikan sebuah symbol dengan membentuk sebuah ritual contohnya pesta yuwo (pesta emas) dengan pencipta pesta ini atau seorang peternak babi dari kampung uwamani.
  1. Siapa suku mee itu ?
Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di Papua. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai,Lembah Bedu/Sirowo, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiha/ Mapisa. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire.Dan dua Kabupaten, yaitu Dogiyai, dan Deiyai Ketiga kabupaten tersebut itulah yang dinyatakan suku mee. 

Arsitektur tradisional adalah wujud suatu kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dalam arsitektur tradisional Suku Mee Papua terkandung secara terpadu wujud kebudayaan orang Mee seperti ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturann, pendangan hidup dan lain sebagainya. 
Arsitektur tradisional adalah wujud karya nyata leluhur. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya leluhur itu dapat di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa mee itu sendiri. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/ dilihat.
Dalam arsitektur tradisional suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui karya arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir atas pengujian alami yang di lakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh oleh Mee, dan “diwujudkan” dibangun sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
  1. Arsitektur tradisional suku Mee Papua
berikut ini adalah salah satu dari berbagai macam suku di Papua yang memilki nilai-nilai, bentuk dan ukuran, serta ungkapan jiwa melalui arsitektur yang sangat berbeda. Tulisan berikut ini adalah salah satu suku mee yang berhasil dihimpun melalui suatu penelitian “survei” pada beberapa waktu laktu lalu. Dalam penelitian “survey” yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu berhasil dikumpulkan data dan fakta di lokasi penelitian yang dimaksud. Pada akhirnya menemukan beberapa tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua yang di bahas berikut ini.
Tulisan berikut ini merupakan gambaran umum daripada hasil penelitian itu, yang di bahas dari sudut pandang arsitekturnya saja. Untuk, itu pembahasan yang lebih mendalam lengkap dengan kajian filosofi, antropologi budaya, sosial, dan lain sebagainya kita akan bahas di waktu dan lain tempat waktu-waktu yang akan datang.
1. Tipologi arsitektur rumah tradisional 


 




Ada 7 (tujuh) Tipe arsitektur rumah tradisional diantaranya adalah (1) Yame Owa Secara harafia Yame artinya laki-laki Owa artinya rumah. Yame Owa artinya (Rumah tinggal laki-laki). Rumah ini dibangun untuk tempat tinggal laki-laki dalam suatu kampung. Semua bangunan (Yame Owa) yang di bangun dengan pertimbangan-pertimbangan khusus. 

Fungsi rumah Yame Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal laki-laki. Tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang perlu dilakukan oleh laki-laki secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal laki-laki, Yame owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, tempat menyelesaikan persoalan (perang, maskawin), tempat menyimpang alat-alat perang (panah) pusat pembuatan alat perkebunan dan alat kesenian. Dan tempat mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan nasehat bagi semua laki-laki sejak usia 4/5 tahun.
Tidak ada ukuran standar yang diturunkan oleh nenek moyang. Tetapi dibangun dengan perkiraan atas kebutuhan akan ruang dan penghuni. Cara menentukan ukuran bangunan adalah dengan mengukur dengan tangan (jari-jari) atau kaki. Cara lain adalah memperkirakan dengan ukuran tinggi manusia dengan tinggi bangunan. Ukuran bangunan ini, yang telah dibangun adalah Panjang ±350cm. Lebar ±300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding±150-200cm. Kemiringan Atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm. 
Bahan bangunan yang dipakai pada Yame Owa adalah untuk penutup atap menggunakan kulit kayu. Panjang pohon ini diperkirakan sekitar ±30.000cm-50.000cm. Diameter pohon ini sekitar 30 – 70 centi meter. Ketebalan kulit kayu ini adalah 0,3 cm. Panjang ukuran yang sering dipakai untuk penutup atap adalah ± 60 - 200 cm. Panjang ini bukan standar yang dipakai, namun ditentukan serat pohan itu sendiri. 
Jenis bahan yang di pakai untuk struktur bangunan adalah berupa tiang-tiang pancang. Pada dinding bangunan mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan pertama dinding luar mengunakan tiang-tiang, lapisan kedua kulit kayu dan lapisan ketiga menggunakan papan cincang. Bahan yang dipakai untuk lantai terdiri dari tiang pondasi panggung, balok induk (mutaidaa), balok anak (yokaa mutaida), deretan kayu buah yang berukuran kecil yang di ikat dengan balok anak. (katage). Selanjutnya adalah lapisan paling atas yaitu kulit pohon kelapa hutan. (tibaa).

1. Yagamo Owa
, secara harafia kata Yagamo artinya perempuan Owa artinya rumah, Yagamo Owa artinya (Rumah tinggal perempuan). Fungsi rumah Yagamo Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal bagi perempuan, tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal perempuan, fungsi lain dari Yagamo Owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, serta tempat proses belajar bagi anak-anak perempuan. Tempat menyimpang alat-alat perkebunan (yadokopa), pusat pembuatan alat penangkap ikan. 
Ukuran bangunan Yagamo Owa, adalah panjang 350cm. Lebar 300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding ±150- 200 cm. Kemiringan atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm. 
Bahan bangunan yang dipakai pada Yagamo Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang dan alang-alang serta beberapa jenis bahan penutup atap lainnya. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Pada umunya, bahan penutup atap Yagamo Owa adalah yage dan widime. Kedua jenis bahan ini mampu bertahan sampai berpuluhan tahun. Secara struktural bangunan, Yagamo Owa hampir sama dengan Yame Owa. Namun, yang membedakan adalah pada ornamen-ornamen san bahan yang digunakan.
2. Tii-Daa Bega Owa (Rumah Honai)



 



secara harafiah tii-da bega owa artinya sebuah bangunan yang membentuk gunung yang mempunyai ujung yang tajam. Fungsi bangunan ini adalah dua yaitu difungsikan untuk tempat tinggal laki-laki dan tempat perempuan. Selain itu fungsi lain adalah tempat menyimpan barang-barang berharga dari laki-laki ataupun perempuan. Lokasi bangunan ini berada di kampung-kampung, namun jarang di bangun dengan alasan bahwa rumah honai adalah rumah adat suku Dani (Wamena). Tetapi ada perbedaan yang dapat dilihat adalah ketinggian bangunan. Dimana bangunan rumah honai suku mee lebih tinggi dari pada dani (wamena). Bahan yang digunakan untuk memdirikan banguan ini adalah sama dengan bangunan lain yang ada di suku mee. Tetapi pada bagian penutup atap menggunan alang alang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan kayu buah. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding. Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan. 

Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai 60cm, tinggi dinding 150-200cm, tinggi atap ± 100cm, lebar ± 250-300cm, panjang ± 250- ±300m. Bentuk bangunan ini sama dengan lingkaran dengan besar diameter ±250-300cm. 

3. Yuwo Owa(Rumah Dansa)




 




secara harafiah dapat diartikan bahwa Yuwo artinya pesta Owa artinya rumah, sehingga rumah ini sering disebut rumah pesta adat suku Mee. Bila dipandang dari segi aktivitas dalam rumah ini, memiliki banyak “nama”. Aktivitas yang dilakukan pada saat puncak pelaksanaan pesta adat, sebelum aataupun sesudah sangat berfariasi. 
Fungsi bangunan ini adalah pertama, tempat melakukan jual-beli dengan cara balter dan uang tradisional (kulit kerang). Kedua, tempat mencari jodoh, saat melakukan pesta adat laki-laki dan perempuan saling tukar gelang atau kalung sebagai tanda ungkapan cinta. Ketiga, tempat hiburan malam. Satu minggu satu kali mereka tentuykan sebagai malam hiburan, untuk mengekspresikan seni tari maupun seni suara dalam rumah ini. Untul mendirikan rumah ini perlu pertingan secara matang. Bangunan ini adalah bangunan yang paling besar yang dibangnun oleh suku Mee. 
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai ±40cm, tinggi dinding ±200cm, tinggi atap 150cm, lebar bangunan 1.300cm, panjang bangunan ± 2.100cm.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini adalah sama dengan bahan bangunan lainya. Tetapi pada bagian penutup atap menggunakan daun pandang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan tiang-tiang. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding (papan cincang). Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan. Bentuk banguan ini sama dengan lain yaitu persegi empat. 

4. Daba Owa (Rumah Pondok)
secara harafia kata Daba artinya Daba kecil Owa artinya rumah, Daba Owa artinya (Rumah pomdok kecil). Rumah pondok di bangun di kebun hutan. 
Fungsi rumah Daba Owa bukan hanya merupakan suatu tempat istirahat pada siang hari, tetapi dalam rumah ini terdapat banyak fungsi yang meliputi pertama, tempat masak-masak hasil kebun. Kedua, tempat menyimpan kampak/ parang, alat-alat perkebunan, dan alat-alat perburuan. Ketiga, tempat berlindung dari hujan dan panas sinar matahari. Keempat, tempat menjaga binatang liar agar tidak mencungkil tanaman. 
Ukuran bangunan Daba Owa, adalah panjang ±250cm. Lebar ±200cm. Tinggi dinding ±150-200cm. Kemiringan atap ± 150-300. Ketinggian atap ± 100-130cm. 
Bahan bangunan yang dipakai pada Daba Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang,alang-alang dan kulit kayu. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Secara struktural bangunan, Daba Owa tidak sebanyak lapisan seperti Yame Owa dan Yagamo Owa. Struktur dinding Daba Owa hanya satu lapisan. Deretan tiang-tiang yang membentuk dingding ini, juga berfungsi sebagai struktur utama bangunan ini.

5. Ekina Owa (Kandang Babi)
Babi merupkan jenis binatang piaraan yang sangat berharga dalam kehidupan suku Mee. Sehingga untuk menjaga agar babi itu tetap hidup dalam kandang yang aman dan nyaman maka dibangun sebuah rumah (kandang) sendiri. Bagi orang Mee babi merupakan salah satu penentu status sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sering disebut tonawi. Seseorang bisa dikatakan tonawi karena dia memiliki kekayaan (babi banyak) dan mempunyai istri yang banyak serta mempunyai atau mengetahui hal-hal mistik. 
Fungsi rumah ini adalah tempat tinggal/ kandang babi. Menurut cerita mitos, manusia (orang mee), hidup bersama dengan ekina dalam satu rumah. Sekarang lokasi rumah ini berada di pingir atau di dekat rumah laki-laki atau perempuan. Jarak antara rumah tinggal dengan ekina owa di batasi oleh pagar (wee eda). Ukuran bangunan ini adalah sekitar 1-2 meter, ukuran ini sangat berfariasi. Dan di tentukan oleh jumlah babi yang di milikinya. 
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian. 
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.

6. Bedo Owa (Kandang Ayam).
Orang Mee sampai saat ini meyakini bahwa ayam merupakang binatang piarahan pendantang, karana belum terdapat di daerah Paniai. Namun demikian, pada saat ini yaitu sekitar tahun 1970-an ayam dipelihara sebagai salah pemberi protein bagi tubuh manusia. Ayam hadir di daerah atas bantuan pemerintah dan di bawah dari luar daerah ini. 
Sesuai dengan nama rumah ini, fungsinya adalah kandang ayam. Dalam rumah ini orang Mee memelihara ayam. Ayam-ayam akan tinggal dalam rumah ini hanya pada malam hari. Karena pada siang hari ayam-ayam tersebut berkliharaan di pinggir rumah atau kebun dekat ruamh tinggal. Sistem pemeliaraan ini memberikan kesempatan pada burung-burung pemakan daging misalnya elang untuk membunuh anak ayam. 
Saat ini orang Mee mengetahui dan membedahkan bagaimana mendirikan sebuah rumah untuk kandang ayam ataupun bebek, atau jenis binatang piaraan lainya. Akan tetapi sampai saat ini belum mengenal cara dan sistem pemeliharaan yang baik dan benar. 
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian. Ukuran kandang ayam ini, memiliki panjang ±200cm, lebar ±200cm. 
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
2.Tipologi Arsitektur Pagar Tradisional 







Pagar merupakan suatu elemen arsitektur yang di gunakan untuk melindungi kenyamanan dalam rumah maupun kebun. Ada dua fungsi utama pagar bagi orang Mee adalah; pertama memagari rumah tinggal entah itu rumah tinggal laki-laki atau rumah tinggal perempuan. Kedua mengelilingi kebun agar babi atau pencuri tidak masuk kedalam kebun.
Babi merupakan binatang piarahan yang berharga, cara memelihara babi (orang Mee) adalah malam hari di masukan kedalam kandang (ekina owa). Tetapi pada siang hari dibiarkan untuk berkeliaran di sekitar kebun atau rumah. Orang Mee hingga saat ini masih belum mengenal cara memelihara ternak secara moderen (dalam kandang). 
Sistem pemeliharaan babi seperti ini membuat orang Mee, harus berpikir untuk membuat pagar, agar makanan dalam kebun tetap tumbuh dengan baik, tanpa gangguan dari binatan liar, terutama babi (ekina). 
Ada tiga jenis pagar yang di buat oleh masyarakat suku Mee yang di bedakan menurut bentuk, kualiatas bahan yang digunakan, ukuran, dan cara pembuatan dari setiap pagar yang ada diantaranya; 

1. Wee eda


 



adalah pagar ini di tanam secara vertikal. Secara kualitas bahan, bila di banding dengan kedua jenis pagar, maka pagar ini memiliki kualitas yang cukup tinggi. Pemilihan jenis pohon untuk pagar ini tidak sembarang. Telah di tentutukan beberapa jenis pohon untuk membuat pagar. Jenis pohon yang pakai untuk membuat pagar ini antara lain, Yewo (kayu besi), Digi/ Didame, Obai, Duigi, Amo.
Selain kualitas bahan yang memiliki tingkat ketahanan yang cukup lama, pagar jenis ini juga sumber pendapatan uang (mege). Apabila suatu pohon ketika di tebang atau di belah keras maka jenis pohon ini memiliki kualitas ketahanan yang baik. 
Pagar ini berfungsi sebagai, pertama pembatas tanah leluhur/ kebun, kedua pembatas rumah dengan rumah, ketiga mengelilingi kebun agar babi tidak mencungkil makanan. Keempat mendirikan kandang ayam (bedo owa) atau babi (ekina owa). 
Lokasi pagar ini biasanya di dataran rendah, terutama untuk kebun-kebun di sekitas rumah. Untuk kebun hutan (kebun yang di buat dengan membersikan, menebang pohon disekitarnya) jarang di gunakan jenis pagar ini. Umumnya pagar ini di gunakan untuk memagari rumah dengan kebun di sekitar rumah yang terdapat banyak keliaran babi di sekitarnya.
(2) Petu Eda (Pagar Horinsontal)
Secara kualiatas bahan pagar ini masig lebih rendah dibanding wee eda. Tidak tahan lama, karena menggunkan kualitas bahan rendah. Ukuran pagar lebar±2cm, panjang ±200-300cm. Bentuk pagar ini adalah merupakan susunan papan yaang disusun dari bawah keatas. Papan-papan ini diikat pada pagar yang ditanam secara vertikal. Pagar ini muda di buat, sehingga waktu pengerjaan membutuhkan waktu relatif singkat.
Pagar ini, dibuat pada lokasi tertentu yang ditentukan dari lingkungan sekitrarnya. Misalnya, kebun hutan (bukit), lembah. Pemilihan pagar jenis ini, yang digunakan pada kebun hutan dan lembah dengan pertimbangn. Pertama, mudah mendapat bahan untuk membuat pagar. Kedua, jenis pagar yang bersifat sementara. Ketiga muda disesuaikan dengan kontur tanah. Keempat, proses pengerjaan dan pembuatan yang muda dan gampang.
(3) Tege Eda (Pagar Tiang)
. Pagar jenis ketiga yang dibuat oleh masyakat suku Mee adalah tege eda. Secara kualitas bahan, serta ketahanan terhadap iklim sekitar sangat relatif singkat. Bahan pembuatan pagar ini, diambil dari kayu yang masih muda (baru tumbuh). Masyarakat Papua menyebut kayu buah.
Pagar ini digunakan untuk mengelilingi kandang ayam. Tetapi, biasa digunakan untuk mengelilingi kebun atau rumah. Ukuran ketinggiannya lebih tinggi. 

3.Tipologi Arsitektur Jembatan Tradisional. 

            (1) Goo Koto (jembatan)
(Jembatan Gantung). Jembatan ini merupkan jembatan sangat panjang. Fungsi jembatan ini adalah menyebragi ke kebun hutan atau luar kampung. Bentuk jembatan ini adalah model jembatan gantung. Namun yang menjadi persoalan atau bahaya adalah ketika menyebrang jembatan ini jatuh, maka manusia tersebut tidak di selamatkan, karna hanyut dalam air. 
(2) Koma Koto,
(Jembatan Model Perahu). Disebut jembatan model perahu karana bentuk dan cara pembuatan jembatan ini seperti perahu tradisional. Panjangnya jembatan ini ditentukan dari besar kecilnya kali atau sungai. Membuat jembatan ini, di buat di hutan seperti perahu tradisional. Kualitas bahan (kayu yang dipakai) adalah kayu besi (yeewo piya. Jenis kayu ini adalah salah satu jenis kayu yang kuat dan besar. Panjang satu pohon mencapai 70-100meter.

            (3) Tege Koto
(Jembatan Tiang). Tege koto, artinya jembatang tiang karena hampir semua kayu yang dipakai adalah tiang. Bahan-bahan untuk membuat jembatan ini dipilih beberapa jenis kayu berdasarkan kuliatas kayu. Kayu yang digunakan untuk jembatan ini adalah amoo piya, digi piya, yegou dan beberapa jenis kayu yang dianggap kuat dan bertahan terhap air.
Pada zaman dulu, pengikat antar tiang-tiang pada struktur utama, tiang penyangga maupun struktur pendukung adalah tali. Jenis tali yang dipilih adalah rotan dan beberapa jenis tali laninnya. Sesuai degnan perkembangan zaman, saat dapat sangat terlihat beberapa rumah pagar dan jembatan menggunkan paku dan kabel atau kawat besi. 
              (4) Piyauti Koto
(Jembatan Darurat), Jembatan ini di buat pada saat air sungai pasang. Letak jembatan ini adalah di hutan karena memang di gunakan hanya untuk menyebrang saat air sungai banjir. Jembatan ini juga model perahu, namun bisa dikatakan jembatan darurat sebab sering terjadi banyak banjir saat musim hujan.
jadi Bahwa arsitektur adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia. Arsitektur tradisional suku Mee adalah SIMBOL PEMERSATU ide, perasaan, perbedaan pandangan. Suku Mee memandang Arsitektur tradisional adalah tempat dan hasil budaya . Di situ mereka memaknai setiap fenomena alam dan masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Pembentukan ruang pada arsitektur Suku Mee terjadi dengan memertimbangkan tradisi masyaraakat dan penggunaan bahan-bahan lokal. Karena itu arsitektur suku Mee adalah salah satu contoh timbal balik antara alam dan budaya manusianya (nature and culture) yang bagus. Hal ini perlu dikemukakan karena, perkembangan mutakhir, arsitektur tidak lagi meningindahkan tradisi dan bahan, bentuk lokal sehingga banyak darinya kehilangan identitas.
  1. Tingkat kesejateraan dan kemakmuran suku mee
Kesejahteraan dan kemakmuaran suatu bangsa dan etnis pada masa primitive tergantung dari manusia dalam arti bahwa seseorang jika ingin menajadi makmur maka seseorang memiliki sikap.
  1. Mempunyai kemauan yang keras dalam diri orang mee.
  2. Selalu berusaha keras memenuhi kebutuhan dengan cara-cara yang halal
  3. Tidak muda putus asa dengan mudah dan begitu saja.
  4. Siap mengambil resiko jika terjadi masalah pada usaha yang dimiliki contoh gagal panen.
  5. Selalu mencari peluang dan jalan keluar untuk pengembangan dan kemajuan usaha mereka.
  6. Menjadi manusia yang memiliki rasa miliki akan budayanya sendiri dan melestarikan dengan dasra bahwa budaya adalah landasan.
  7. Selalu bersyukur atas pemberian yang diberikan tuhan (ugatame).
  8. Menjadi berkat buat orang lain dalam arti bahwa memunculkan dalam hidup berkeluarga yaitu kasih yang di munculkan.
  9. Tidak sombong dan rendah diri.
Memang tanah besar papua mempunya kekayaan alam yang begitu menjajikan. Didalam daerah orang sendiri terdapat kekayaan alam yang begitu berlimpah dan menjanjikan pula. Namun daerah mee sediri menurut kata orang tua bahwa “tanah itu hidup” dimana dikatakan anah itu hidup karena tanah adalah sumber segala sesuatu dan asal manusia berasala dari tanah maka tanah itu harus di hormati dengan cara melestarikan dan tidak membiarkan hutan gundul. Tanah orang mee menurut mereka adalah tanah itu dimiliki bukan hanya mereka saja melaikan dimilii oleh orang lain pula . sekarang muncul satu pertanyaan siapa itu orang lain yang mereka maksud. Orang lain yang mereka maksud adalah orang –orang yang mempunyai tanah itu “tuan tanah” (makipuwee)dan orang lain yang menjaga hutang dengan dunia mereka sendiri yaitu abe (perempuan setan),tameyai (setan terbang), yimiyo(setan rupa manusia), itu merupakan 3 komponen bersatu namun manusia mee dan 3 dunia gaib tersebut adalah satu dalam bentuk lingkungan fisik mereka. Kemakmuran dan kesejateraan bangsa mee di tentukan oleh mereka sendiri. Manusia mee akan makmur jika dia selalu mengikuti beberapa sifat yang sudah ada diatas di tambah dengan nilai-nilai hidup.beberapa nilai hidup mee adalah :
  1. mogo kou ugatame-ugatame tetai (jangan menyembah berhala)
  2. ikepa yoko ugatame beu (jangan ada padamu allah lain)
  3. ugatame eka utopa teyabatai (jangan menyebut tuhan allahmu dengan sembarang).
  4. Daa nago yuwii (kuduskanlah hari sabat)
  5. Aku kai akaitai ya mana eyuwai (hormatilah ayah dan ibumu)
  6. Oma teyamoti (jangan mencuri)
  7. Puyamana tewegai(jangan bersaksi dusta)
  8. Mogai tetai (jangan bersinah)
  9. Okeiya agiyo aniya-aniya tetai (jangan miliki orang lain punya barang,jadikan milikmu )
  10.  
Kesepuluh nilai-nilai hidup diatas harus dijadikan landasan atau pondasi hidup dalam melangkah ke depan dalam mencari hidup yang lebih baik. Tujuan dari sepuluh perintah allah adalah sebagai suatu pedomaan hidup untuk berkarya di bumi ini. Sebagai manusia pastinya setiap individu di bumi ini juga ingin sejahtera dan makmur di dalam kehidupan. Suku mee sendiri adalah salah satu tipe suku yang nomaden dulu namun sejak mereka menetap di paniai maka disalah mereka merasakan susah dan senang hidup ini yang selama itu mereka belum pernah rasahkan mengapa karena selama mereka masih dikatan sebagai suku yang nomaden berartti bahwa seluruh kehidupan mereka tergantung pada alam yang mana mereka mencari kebutuhan sehari-hari lansung dari hutan dimana mereka bisa dikatakan bahwa makanan yang mereka makan bukan olahan dan tidak memiliki bahan kimia lain yang menyebabkan suku mee sendiri mempunyai umur yang cukup lama.
Pada zaman modern ini penduduk papua khusus manusia mee masih dikatakan berada dibahwah standar hidup yang rendah yang mana mereka untuk mencari sepiring nasi untuk sehari saja susah pada hal tanah besar ini kaya akan kekayaan alam yang begitu menjajikan. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan adalam mengapa masih ada orang papua yang berada dibawah standar hidup yang rendah. Beberapa indicator kemakmuran di tanah papua adalah :
Table social Indicators
2013
Penduduk miskin
Indek pembangunan
Manusia
Sumber penerangan
Listrik (%)
Akses air bersih
40.78
63.41
46.36
38.44
Jadi dari table diatas dapat kita lihat bahwa papua merupakan suatu pulau yang kaya, dari “KATA ORANG” bahkan kita sendiri bisa melihatnya dengan mata telanjang bahwa kekayaan kita tersebut ada dimana-mana dan dalam rupa apa saja baik itu emas, tambang minyak, air bersih yang dihasilkan hutan dan hasil hutan lainya. namun disini saya mau katakan bahwa pemerintah harus bekerja keras demi menjamin kesejateraan masyarakat ini karena dari table ini sangat tampak bahwa sebagaian kecil dari masyarakat papua yang meningkmati kekayaan alam papua namun itu juga secara tidak sempurna. Dari table diatas dapat kita lihat bahwa 40,78% masyarakat papua berada dibawah standar hidup atau berada dibawah standar hidup yang memperhatikan. dimana itu bisa dikatakan bahwa mereka mencari makan pun susah. Sekarang jika kita bandingkan dengan indeks pembagunan manusia atau pembagunan sumber daya manusia itu sudah 63,41% dan jika kita bandingkan dengan dengan penduduk miskin maka kira-kira 2.59% manusia papua yang sudah berpendidikan dan belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. jadi itu berartri bahwa pemerintah provinsi papua tidak memberikan peluang dan kempatan kepada generasi papua untuk berkarya diatas tanahnya sendiri mengapa demiakian ? karena pemerintah provinsi papua tidak membuka lapangan pekerjaan yang baru yang cocok untuk mereka. Sekarang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu dari table diatas terdapat sumber penerangan sebesar 46,36% dan akses air bersih 38,44% itu berarti bahwa 54,64% penduduk papua tidak memakai penerangan yang mana sekarang dipapua sudah ada dana otonomi khusus yang cukup besar namun banyak masyarakat pula yang tidak mengunakan aliran listrik untuk menerangi rumah mereka. Disini masalah air bersih juga menjadi masalah yang sangat besar untuk masyarakat papua dan menjadi suatu pekerjaan rumah yang mau tidak mau perlu di tuntaskan tahap demi tahap untuk memberikan suatu kesejahteraan merata. Dalam hal ini air bersih adalah kebutuhan pokok rumah tangga yang perlu di tuntaskan dimana jika kita lihat, maka terdapat kira-kira 61,56% penduduk papua yang tidak mengunakan air bersih untuk kebutuhan konsumsi mereka tiap harinya. Sekarang kita akan lihat berapa besar banyak manusia papua yang sedang diberdayakan dan berapa banyak manusia papua yang masih buta huruf.
Dengan dimikian diatas dapat kita ambil pendapat baru bahwa ini semuncul dari kesalahan transpofasi bahasa alkitab ke dalam bahasa budaya dengan contoh konkrit adalah pikeda. Dimana seiring dengan perkembangan zaman yang begitu menjajikan dengan banyaknya peluandan yang cukup banyak dan kesempatan untuk bekerja namun disini dari itu sebuah ancaman dan worning yang diantaranya adalah sebagai berikut
  1. Ancaman genoside
  2. Ancaman masuknnya budaya baru dari luar yang mengacurkan (breaking down) budaya asli (original) yang ada di dalam suku-suku di papua khussunya suku mee.
  3. Ancaman dari dunai IPTEK adalah manusia dipaksa untuk  mengetahui suatu ilmu pasti dan alam dengan tidak memikirkan baik buruknya masalah itu sendiri.
  4. Masalah ini juga berasal dari IPTEK yaitu pornografi.
Dan ada juga masalah lain yang mengahambat pertumbuhan SDM dalam budaya ini adalah
  1. Factor kesalah fahaman budaya
Factor ini bisa muncul sebab seorang tidak di didik melalui budaya

Tinjauan Cultural suku Mee sebagai langkah menuju preventif

Manusia cenderung untuk mengembangkan, aspek-aspek kehidupannya, sampai mencapai suatu derajat kehalusan atau kompleksitas tertentu. Kemampuan manusia untuk melakukan hal itu, kadang-kadang menutupi kenyataan, bahwa mungkin manusia menghadapi masalah-masalah dasar yang harus diatasinya, apabila dia ingin mempertahankan eksistensinya. Masalah-masalah tersebut tidak hanya menyangkut eksistensinya secara fisik, akan tetapi juga secara sosial. Unsur-unsur dasar dari kehidupan sosial adalah syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi, demi eksistensinya suatu kehidupan sosial. Unsur-unsur dasar tersebut merupakan kondisi-kondisi yang harus dipelihara dan dikembangkan, agar kehidupan sosial dapat bertahan.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, manusia mengembangkan pola-pola perilaku yang dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk dasar dari organisasi sosial. Pola-pola tersebut antara lain, mencakup adat-istiadat yang paling sederhana sampai pada hal-hal yang relatif kompleks. adat-istiadat (custom) atau secara alternatif sering disebut juga kebiasaan (folkways)merupakan istilah yang menunjuk perilaku yang khusus dan distandarisasikan yang merupakan kebiasaan bagi penganut-penganut suatu kebudayaan tertentu. Seperti yang dikatakan oleh  Edwar Tylor (1832-1917), bahwa “kebudayaan (klasik) adalah setiap hasil perilaku manusia yang kemudian diajarkannya kepada generasi-generasi berikutnya yang pada gilirannya mengakumulasikan serta mentransmisikan pengetahuannya.Pengertian tersebut dapat diterapkan pada suatu perilaku yang secara relatif, sederhana misalnya, memberi salam kepada seorang sahabat, sampai pada peristiwa-peristiwa yang agak kompleks seperti, misalnya perkawinan, upacara adat, dan lain-lain”.
Hubungan antara pola-pola adat-istiadat dalam suatu masyarakat biasanya terorganisasikan sedemikian rupa sehingga berkaitan dengan masalah-masalah atau tujuan-tujuan tertentu. Pola atau perangkat adat-istiadat tertentu, dinamakan peranan (role). Peranan berhubungan erat dengan harapan-harapan mengenai perilaku-perilaku yang dianggap pantas. Peranan-peranan tertentu bersifat terbuka dan dapat diberikan kepada setiap warga masyarakat. Sehingga dapat dijadikan suatu tolok ukur berdasarkan pendapat Edwar Tylor, yang menyatakan bahwa kebudayaan/peradaban merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup, pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga dari suatu masyarakat.
Perkembangan perubahan kebudayaan suku Mee
Nama yang diturunkan oleh leluhur suku adalah Mee. Mee berarti orang-orang yang telah dipenuhi dengan akal budi yang sehat; dapat berpikir secara logis; dapat membedakan suku ini dari suku yang lain; dapat membedakan barang miliknya dengan milik orang lain; daerah garapannya dengan garapan milik orang lain; dan dapat mentaati amanat-amanat yang diwariskan oleh leluhur, dan amanat yang paling utama yang dilarang adalah hal perzinahan. (Asmara Adhy, 1980:71). Suku Mee dikenal sebagai “petani” ubi jalar, talas, sayur-mayur, tebu dan buah-buahan. (Slamet Ina E., 1964:35). Kedua hal ini menjadi fokus tinjauan perkembangan kebudayaan suku Mee pada masa kini.
Ada sedikitnya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sebagai tolok ukur dan bahan analisis agar pemahaman kita dapat tertuju pada tujuan pokok penulisan judul opini, yaitu:
  1. Mengapa suku Mee sekarang tidak dan jarang melakukan pesta budaya “yuwo” yang pada masa-masa lalu ini merupakan kegiatan tradisi suku Mee?
  2. mengapa orang Mee sekarang tidak kenal daerah-daerah yang dikeramatkan oleh leluhur/orang tua untuk terus dilindungi tetapi yang terjadi adalah dibongkar untuk membuat kebun, rumah dan atau kandang ternak?
  3. Mengapa orang Mee sekarang tidak lagi memegang dan atau menyimpan benda-benda keramat dan benda-benda antik?; yang dulunya oleh leluhur kita menggunakan itu untuk mengatur dan mempertahankan hidup yang baik.
  4. Mengapa orang Mee sekarang pada usia remaja bisa pacaran dengan romantis hingga pada etape erotisme yang susah dikendalikan? Padahal, dahulu hal demikian disebut mogaii dan sangat tabu dilakukan oleh suku Mee karena peranan tradisi adat-istiadat yang kuat dan baik sehingga sangat ditakuti untuk dilakukannya.
  5. Mengapa orang Mee sekarang jarang menanam ipoo untuk koteka, Tawa (rokok)? Padahal, kedua tumbuhan ini sangat diperhatikan oleh kaum lelaki suku Mee pada zaman dulu.
Dari sekian pertanyaan di atas ini menunjukkan adanya perubahan yang terjadi secara signifikan dalam tradisi suku Mee akibat perkembangan arus globalisasi. Perkembangan globalisasi ini disertai aroma budaya luar (modern) yang menyebar luas dan dalam berbagai bentuk yang cenderung mempengaruhi aspek kehidupan suku Mee. Faktor yang cenderung mempengaruhi perubahan tradisi suku Mee adalah: Aspek Masuknya Agama dan aspek masuknya Pemerintah.
Aspek masuknya Agama pemenjadi awal perubahan (difusi antarmasyarakat) budaya di kalangan suku Mee karena orang asing pertama yang menginjakkan kaki di tanah Paniai adalah seorang imam yang dapat menyebarkan agama. Pengaruh daripada masuknya agama ini tidak dapat merubah suatu sistim budaya Mee secara menyeluruh (universal). Akan tetapi sebagian yang diangap berlawanan dengan ajaran agama.
Aspek mesuknya pemerintah di wilaya paniai  mengakibatkan sistem cultural suku Mee dapat mengalami suatu perkembagan sistem pemerintahan yang ada. Sitem pemerintahan yang ada dipimpin oleh Tonawi (kepala Suku) Namun masih terbatas pada suatu wilaya yang dibatasi oleh gunung, sungai, danau dan lainnya. Disamping itu juga Tonawi ditentukan berdasarkan kekayaan dan cara bertanggung jawab demi kepentingan umum.
Hal perluh diketahui bahwa ada beberapa unsur budaya suku Mee yang mengalami perubahan maupun perkembangan yang drastis adalah unsur budaya pemerintahan(tonowi, meibo) , unsur kepercayaan (mogai daa, kegotai), unsur berpakaian (koteka, Moge) dan unsur ekonomi (Mege).
  1. Tradisi-tradisi suku mee
Sebagai salah satu suku yang terbesar di papua dimana suku mee termasuk kedalam 5 suku terbesar dipulau papua memiliki peran aktif dalam pembagunan daerah dan pembangunan manusia secara tradisional yang nantinya akan membentuk manusia handal di profesinya masing-masing. pada sasarnya suku telah berkembang di paniai sejak 4 abab yang lalu dimana ekspedisi mereka dimulai dari png menuju oksibil dari oksibil menuju wamena lebih tepatnya di lembah baliem (gua pasema) mereka masih nomaden. suku ini membentuk jti diri mereka dari situ membentuk prinsip hidup, membentuk nilai,norma, aturan,kaidah, filosofi tradisional, dan ideologi yang menjadi dasar mereka untuk membangun mansyarakat mee yang utuh dan mempunyi seperangkat media komunikasi, tranformasi kepada generasi penerus yang baik. Memang suatu perkembangan harus diawali dengan suatu perkembangan susah payah namun hasil dari keringat kita keluarkan akan mengasilkan berkat yang melimpah bagi orang lain dan kita sendiri akan emndapatkan upah yang setimpal disurga. Suku memiliki banyak tradisi dan upacara adat beberapa uapacara adat yang dipunyai ataralaina adalah
  1. Yuwo (pesta emas), gold party
  2. Kamutai
  3. Ipuwe witogai
  4. Wodauwaga wati membatasi kelakuaan atau dosa dari kakek
  5. Eba mukai pengumpulan dana
  6. Gaupe untuk pemberian nama kepada laki-laki dewasa
  7. Kaboduwai untuk membatasi suatu penyakit yang melanda suatu marga
  8. Owoupuwe witogai karena kelaparan
  9. Madou kamu 7 hari 7 malam harus didalam rumah
  1. YUWO (pesta emas atas pesta puncak)
Yuwo menurut salah seorang tokoh adat THOBIAS DUKOTO dari kampung Buah yaitu pesta adat untuk mencari dana atau pusat pencarian dana beberapa fungsi yuwo . yuwo ini biasaya
  1. Mencari jaringan marga dari nenek moyang dahulunya ada dimana yuwo dijadikan sebagai sarana komunikasi perkenalan.
  2. Sebagai penentu temperature ekonomi suatu wilayah di daerah paniai
Yuwo memiliki pernana penting dalam perkembangan suatu daerah dengan kenikan tersebut yang dimilikinya maka disini yuwo. Sesuai dengan fungsi yuwo sebagai penentu temperature ekonomi maka beberpa hal yang dilaksanakan dalam yuwo dalam bentuk kegiatan transaksi jual beli adalah.
  1. Komuditi yang dijual
 Babi (ekina)
 Petatas (dugii)
 tebu (eto)
 Yatu
 Kulit kayu (bebi)
 Daun pandang (koboye)
 Busur dan anakpanah (uka mapega)
  1. Prosesi berjalanya yuwo
 Tahap pertama
Perencenaan adalah suatu rapat tradisional yang dilakukan oleh komunitas diasuatu kampung dengan topic pembicaaan adalah bagaimana yuwo tersebut dapat kita mabil dan diadakan di wilayahnya. Dengan hal ini mengecek kesiapan masyarakat setempat untuk mengambil yuwo (yuwo moti) artinya keputusan mengambil yuwo
Sesudah perencanaan matang dimana ditputuskan untuk mengambil yuwo sudah di sahkan untuk melakukana cara tersebut maka selanjutnya adalah penembangan pohon ange adalah untuk mengambil yuwo dengan membunuh satu ekor babi dan dikhususkan untuk laki-laki. Pada acara penembangan onage ini ada satu larangan yaitu kayu onage yang di tebang pertama tidak boleh terkena atau sentuh tanah dan onage tersebut di letakan di atas keyage (para-para).ada beberap hal yang di perhatikan adalah
Jika sejalan dengan penebangan pohon onage jika ada sekor burung nuri lewar disitu maka akan terjadi malapapetaka yaitu orang yang menebang pohon tersebut akan meninggal.
 jika ada seekor burung wogiyo maka istri dari orang yang menebang pohon tersebut akan meninggal.
 Ada beberpa hal yang menguntungkan ditu sewaktu penebangan pohon adalah jika terdapat banyak sarang semut atau kutu busuk maka akan banyak mendapat rejeki pada pesta tersebut.
 Pengambilan kayu rumah yuwo (yuwo owa)
Beberapa kayu diambil untuk pembuatan yuwo owa adalah :
 Onage untuk alas bawah
 Sebagai pemeleh luah adalh pohon obay
 Sebagai ibu tiang adalah katu besi (kayu digi atau amo)
Pada bagian pondasi pohon yang sudah di tujukan untuk pembuatan pondasi harus langsung di tanam dan jika pembuatan rumah tersebut di mulai maka harus diselesaikan dalam sehari rampun. Sesudah pembuatan yuwo owa tersebut yang boleh masuk pada malam itu adalah hanya laki-laki yang di perbolehkan untuk menginap pada malam pertama rumah tersebut telah jadi.pada malamnya nanti di iringi dengan lagu daerah dan orang yang datang dari daerah lain boleh tinggal di daerah tersebut beberapa hal yang penting adalah para tamu yang datang untuk bertamu tersebut harus di berikan makan oleh orang-orang di kampung dimana terselenggaranya acara tersebut

PEMECAHAN RECORD PELUNCURAN PENERBITAN BUKU
MENETAPKAN IDENTITAS DIRI MANUSIA MEE
DI PAPUA PADA MASA ERA TANTANGAN DUNIA GLOBALISASI


Mengarahkan dan menyesuaikan diri dalam tantangan perubahan pada masa era global menuju menata menetapkan identitas diri budaya dan adat istiadat manusia mee di papua. Dan sebagai sebuah buku penyelamat identitas diri kehidupan manusia mee, dari kehilangan tantangan dunia globalisasi yang sedang menindihkan dan menghapus budaya lokal Mee dari budaya-budaya luar secara global semakin berkembang pesat dan cepat.
 


 
I .LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN

Perkembangan perubahan dunia semakin panas dan semakin cepat roda berputarnya dunia era globalisasi untuk menguasai budaya-budaya global terhadap budaya lokal yang masih belum meningkatkan taraf hidup dan menetapkan identitas diri mereka standarisasi dengan era modernisasi. Budaya dan adat istiadat lokal tidak akan berlaku lagi, semakin menindas dan sedang pemprosesan menghapuskan budaya lokal dari budaya-budaya (luar) baru atau budaya global.

Melatar belakangi dengan peluncuran buku manusia mee di papua adalah wahana terbaik bagi kita semua. Baik suku mee itu sendiri untuk mengenal dan mengetahui menguasai apa itu budaya dan adat istiadat ada pada suku mee dulu, kini dan masa depan suku bangsa mee itu sendiri. Dan pada umumnya suku-suku bangsa yang lain untuk memerlukan menata diri menyesuaikan tantangan perubahan dunia globalkisasi. Buku tersebut sebagai jembatan gambaran yang sangat menarik apa itu identitas diri suatu suku bangsa berdasarkan adanya budaya dan adat istiadat pada suku bangsanya sendiri.

Berdasarkan itu; penulis lebih tau harapan-harapan suatu suku bangsa kini menuju ke masa depan atas perkembangan budaya-budaya dunia global dari arah barat menuju ke timur dan dari arah timur menuju ke arah barat. Hal itu sebagai tantangan perputaran penukaran perubahan pergantian hawa budaya suatu suku bangsa tanpa nalar maupun secara nalar. Dalam arti bahwa suatu suku bangsa mempunyai identtas diri berdasarkan evolusi penciptanya, maka atas itu penyesuaian suatu suku bangsa berdasarkan itu atau tidak. Kalau orang yang sudah lebih tau mengenal tentang perubahan-perubahan cuaca budaya dunia global ini, pasti ia menstandarisasi dengan budaya global itu, sedikit demi sedikit budaya yang telah miliki pada sukunya sendiri.

Sama halnya atas peluncuran buku “manusia mee di papua” oleh Titus Pekey, dalam buku ini terkupas terkait secara umum. Maka isi dalam buku itu bukan hanya suku mee saja, tetapi kata-kata pada judul buku dan isi pada buku itu terpukul secara umum suku bangsa manusia sejatai di papua dan manusia sejati yang ada di belahan dunia lain. Sebab; isi dari pada buku tersebut di gunakan dengan kata-kata lazin yang di pake oleh Antropolog-antropolog dunia di dasari pada suatu suku bangsa secara nyata dan yang benar atas di telitinya. Sebagai salah satu buku yang tinjauannya menyelamatkan suatu suku bangsa yang sedang dalam penindasan dan penganiayaan seperti manusia yang tidak punya tata identitas evolusi suku bangsanya di pandang dari budaya-budaya luar.

Tujuan dan arti makna dari pada penerbitan buku tersebut, adalah untuk menetapkan dan menanamkan modal hidup suku bangsa mengarah kehidupan yang lebih aman atas budaya dan adat istiadat mereka.

Penerbitan buku tersebut dapat di artikan sebagai salah satu bahana mengarah ke pembangunan di era global, pembangunan daerah dapat membudayakan sesuai lingkungan kondisi yang ada di daerah itu.

Dapat memaknai pada penerbitan buku itu adalah meneropong dan membuka pintu dari dunia lokal membawa ke dunia internasional bagi suatu suku bangsa menuju menstandarisasi dengan budaya-budaya globalisasi. Dan serta mengkaderasikan anak negeri kedepan berdasarkan budaya dan adat istiadat mereka.

II.JUDUL BUKU “MANUSIA MEE DI PAPUA.
 
 
A. ARTI KATA PADA JUDUL BUKU

Pengertian Judul buku “manusia mee di papua” secara singkat jelas dan tuntas serta dapat di pakai hanya tiga kata, tetapi arti dan makna dari pada judul tersebut berharga dan bermakna secara luas penjelasannya. Bisa sampai terobosan dunia hanya tiga kata saja tersebut.
Atas pengambilan penerbitan judul buku itu bukan karena pengikut jalur semasa, akan tetapi judul tersebut, judul alami bertumbuh dan berkembang hidup bersama dengan si penulis buku itu.

Maka penulis ambil dua kata berkonsonan yang sama dan tinggi Cuma hanya beda konsonan unkapan pemakai kata yaitu; Manusia adalah konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa indonesia nasional, dan Mee adalaha konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa daerah lokalitas, sekaligus dengan nama suku bangsa Mee

Manusia dan Mee adalah satu bukan beda, hanya beda karena bahasa nasional indonesia dan bahasa mee lokalisasi suku mee itu sendiri. Dapat di artikan kedalam lagi; bahwa “manusia sejati”. Namun pengambilan judul juga tidak salah, sesuai dengan pengalaman hidup penulis, pada suku bangsa sendiri.

B. PENGGUNAAN BUKU

Secara filosofi judul yang telah di terbitkan dan isinya sangat bermakna dan sangat menarik dapat di manfaat berguna bagi jurusan filsafat humaniora dan jurusan antopologi, sosiologi serta jurusan-jurusan terkait lain umumnya. Sebab judul tersebut adalah sebagai salah satu penyelamat suatu bangsa dari kehilangan identitas diri sebuah suku di tenga tantangan budaya global.

Dan buku ini juga, dapat berguna bagi tim-tim pro mempertahankan diri sebagai dasar pondasi hidup (demokrasi kesukuan), pecinta suku bangsa sendiri untuk membangun dan mengarahkan secara logistic objektifitasnya mengarah ke membangun secara adil dan merata pada suku bangsa itu sendiri. Serta dengan menidentitaskan secara kesejarahan evolusi pada suku itu sendiri, dan juga para mengkaderasi generasi dari kedaerahan lokalistik menuju menata di depan dunia umum.

Paling pokok mendasar pada Buku ini adalah sebagai salah satu menyembuhkan luka batiniah (luka hati dan luka perasaan kesedihannya) pada suku bangsa yang sedang tertindas dan menghapuskan sedikit demi sedikit dari budaya luar lainnya. Gambaran yang sangat memudahkan dan mendukung anda untuk mengikut langkah-langkah mengidentitaskan diri dengan jalur budaya global.

Maka buku ini dapat di uraikan dan dapat di jelaskan pada judul yang telah di terbitkan oleh Titus Pekey sebagai salah satu penyelamatan suatu suku bangsa yaitu suku bangsa mee di papua menguraikan sisi evolusi identitas diri manusia mee di papua itu sendiri.

C. ISI BUKU

Isi buku disini sangat menarik kajian-kajian sosial budaya antropologis dan sosiologis serta tinjauan filosofi humaniora yang sangat menarik bagi pembaca secara umum dan secara khusus bagi generasi menerobos daerah suku bangsa mee paniai papua, suku bangsa papua pada umumnya, dan bagi jurusan yang terkait sebagai gambaran. Sebab dalam buku ini, kajian-kajian semua terkupas dengan tajam. Baik terkupas dari bahasa lokal di terjemahkan dalam bahasa indonesia serta bahasa inggris.

Kata tersebut bukan hanya terkupas daerah suku bangsa mee saja, dia ambil mengupas garis tengah dari semua suku bangsa tinjauan moralitas hidup di suatu suku bangsa itu sendiri. Sebabgai salah satu membuka wahana keberlanjutan bagi kaum minkoritas semua suku bangsa di dunia.

Bab dan halaman buku

Bab dan halaman buku dari pada buku yang telah terbit ini, kami tidak dapat di jelaskan dan kami tidak dapat di uraikan. Maka bab dan halaman buku, ada pada buku itu sendiri.

Menarik perhatian pada isi buku

Menarik perhatian pada isi buku tersebut adalah kutipan-kutipan dan kajian-kajian yang sangat tajam dalam penulisan buku tersebut.

Ia kutipkan kalimat-kalimat yang sudah di akui berbagai tulisan di buku-buku maupun tanggapan-tanggapan melalui wawancara dengan bersama para bergelar Prof. Dr yang terkenal di internasional maupun nasonal di berbagai Universitas di dunia. Dan di daerah lokal adalah orang pencetus budaya lokal dengan tanah baik sudah sekolah mendapat bergelar Drs maupun tidak sekolah pengguna budaya dan adat istiadat itu sendiri. Sebagai mendukung harapan untuk menyelamatkan dan mengarahkan menata identitas diri pada khususnya manusia mee di papua pada era globalsasi ini. Dan terpucuk pada umumnya suatu suku bangsa yang sedang meraja lela untuk mengikuti dan mempromlosi identitas diri di dunia globalisasi ini.

III.PENUTUP

Sebagaimana telah di jelaskan dalam uraiaan tersebut diatas maka, info terlengkap dan lain sebagainya semua ada di tangan penulis buku itu sendiri dan ada dalam penjelasan bab-bab dan halaman pada buku tersebut, penjelasan isi buku lengkap dan akuratnya. Maka siapa mau beli buku tersebut harap kirimkan info terlebih dahulu melalui email :


Sekian atas pengunjung dan pembeli pada buku tersebut kami tak lupa terima kasih. Tuhan Memberkati, Amin



1 komentar:

  1. Admin, apakah buku tentang "manusia mee di papua" itu apakah masih ada? Mohon di jawab!

    BalasHapus