A. Pengantar.
Mengutarakan
bahan realita kehidupan merupakan berangkat dari pengamatan kenyataan hidup
masyarakat secara obyektif spesifik. Perlu mengetahui juga bahwa, bila melihat
eksistensi budaya suku Mee maka secara mendasar dapat dikategorikan bukan
satu-dua hal saja tetapi masih banyak yang kita perlu melihat, mempelajari lalu
membenahi. Agar supaya dapat tercipta suatu kondisi-kondisi bukan bergantung
harapan akan tetapi semangat berusaha mempertahankan sesuai iringan perubahan
transisi budaya. Kesempatan ini kami akan mengetengahkan realita hidup “dide
wudi” sebagai rambu/komando secara sederhana terbatas tidak secara ilmiah
terperinci. Gambaran konkrit yang kita bisa menarik intinya adalah perbandingan
proyeksi kedepan antara ‘dide wudi’ atau ‘proposal’.
Dalam
perbandingan kondisi dulu, kini dan kedepan, mana yang kita prioritaskan antara
‘dide wudi’ dan ‘proposal’. Sekarang kembali kepada kita untuk melihat kembali
dan menggagaskan untuk membangun serta mempertahankan nilai-nilai kebersamaan
itu. Kami tidak menarik semacam ketegasan dalam bentuk pernyataan atau
pertanyaan akan tetapi langsung saja mengajak kepada pribadi kita untuk
berpikir kolektif sesuai iringan perubahan sekarang, lalu mencari solusi
terbaik.
Sebelum
tafsirkan salah satu hal atau kedua hal maka terlebih dahulu perlu mencermati
antara kedua hal tersebut. Pemilahan dapat dilakukan secara obyektif atas kedua
hal, setelah itu akan lebih efektif untuk melihat ke apa dan yang mana terbaik
untuk merangkul kebersamaan itu. Dalam mewujudkan dan membangun wilayah
pemerintahan Paniai, rakyat setempat dan pemberdayaan kesejahteraan masyarakat
sendiri.
B. Suatu Pandangan.
Merangkul
kebersamaan hidup di daerah yang baru berkembang itu tidak segampang membalik
telapak tanggan tetapi harus dilandasi melalui budaya masyarakat setempat dan
juga tidak boleh berpikir yang besar (ilmiah) cukup berpikir sederhana saja.
Kesederhanaan itulah yang akan mengantar dan menciptakan suatu kondisi
masyarakat sempurna maka kita sama-sama melirik cara ‘dide wudi’. ‘Dide wudi’
dipandang salah satu cara sederhana yang menyatukan antar pribadi demi
membangun kebersamaan sambil mengkristalisasi persaudaraan yang mendasar. Makna
tersebut dapat kita saksikan sesuai dengan muatan ‘nota’ didalam noken
‘ute/agiya’. Hal ini merupakan kreatifitas masyarakat terdahulu untuk
menciptakan suatu kebersamaan antara sesama masyarakat itu sendiri. Maka dengan
demikian, kita bersyukur dan melestarikan serta mempertahankan cara-cara hidup
sederhana, didalam menata, membangun kebersamaan dan persaudaraan sambil
menyesuaikan, mempelajari segala perubahan pada kondisi ‘transisi’ ini.
Angin
proposal yang ditiupkan melalui pemerintah daerah kabupaten itu dapat terbaca
membangun kondisi-kondisi yang memanjakan. Pada dasarnya proposal sangat
efektif bila membuat patokan pra-syarat yang lengkap, jelas, tegas dan
bertanggung jawab. Pemikiran itu pun dapat berpikir ketika membandingkan
kondisi terbangun ‘proposalisasi’ dan semua sudah kenal. Kami tidak bermaksud
membatasi tetapi, seyogyanya mana yang terbaik agar supaya dapat membuat
proposal dengan bunyi sasaran kegiatan yang betul-betul jelas. Jelas dan
tidaknya pun bukan persoalan akan tetapi kita sama-sama memilah kondisi bahwa,
setelah mengenal cara membuat proposal dan sebelum mengenalnya. Lalu kemudian
mana yang mendatangkan keuntungan kepada masyarakat dan juga kepada pemerintah
daerah kabupaten kedepan.
Boleh
terapkan konsep atau strategi baru, asal tidak boleh lepas, lupakan begitu saja
tentang apa yang kita punya. Sekali lagi tansisi budaya suku Mee merupakan
perubahan perbuatan manusia Mee itu sendiri dengan cara, sikap, kelakuan kita
untuk menerima dan menerapkannya. Budaya suku Mee dapat dikategorikan sebagai
kombinasi statis progresif dan dinamis progresif, maka dapat kembali kepada
pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Dikatakan
pemerintah daerah, perlu diketahui bahwa terbentuknya pemerintahan daerah
karena adanya wilayah, rakyat yang berbudaya, adat, bahasa serta latar belakang
dan cara-cara hidup nya yang khas. Pada prinsipnya pemerintah daerah harus
bersyukur atas potensi yang ada untuk berprinsip membangun segala aspek sambil
menyesuaikan segala kelebihan dan kelemahan yang ada. Proteksi harus
menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomis, berpolitik, demokrasi, yang
masyarakat secara adat miliki.
Disini dapat
mempertegas secara sederhana saja (bukan secara ilmiah) bahwa, Apakah dalam
kondisi yang tidak menentu ini perlu melihat kembali potensi yang kita miliki
ataukah malas tahu sebab itu kuno? Bila memandang kuno, dengan dasar pemikiran
apa dikatakan kuno lalu konsep apa yang anda/saya terapkannya? Dengan cara
bagaimana kita memulai untuk membangun kebersamaan diatas pondasi budaya kita
demi kembangkan segala kreatifitas masyarakat didalam wilayah pemerintahan yang
sedang ‘transisi’?
C. Mari berpikir dari diri.
Pada bagian
ini kami mengajak untuk melihat pada diri ‘aniki mei me atau akiki mei me’
‘saya siapa sebenarnya dan kamu siapa’. Hal ini penulis tidak bermaksud untuk
mangajak berpikir ‘urusanmu itu bukan urusanku dan sebaliknya tetapi mengajak
mari melihat dirimu terlebih dahulu lalu melihat diri sesamamu yang lain.
Berarti mewujudkan nilai kebersamaan itu akan nampak dan keharmonisan akan
tumbuh ditengah-tengah kita. Mulai berpikir dari apa yang ada pada diri saya
dan apa yang ada pada diri masyarakatku/mu lalu dapat berpikir secara global.
Diketahui juga bahwa, berpikir untuk diri bukan berarti membatasi semata-mata
pada dirinya saja akan tetapi berpikiran untuk menglobal sambil memihak
terhadap masyarakat, lingkungan sekitar, serta segala atribut yang kita miliki
secara adat. Segala atribut, bisa membedakan bahwa hal apa-apa saja yang bisa
pertahankan nilai-nilai kekhasan dan hal-hal apa saja yang perlu di
rekonstruksi kembali sambil menyesuaikan dengan perkembangan kini.
Perkembangan
kini, pemerintah daerah mengarahkan masyarakat tanpa melihat usaha kegiatan
mereka secara jelas tetapi mendesak kamu harus buat proposal nanti kami
(pemerintah bantu dana) berarti itu sama saja memanjakan sekaligus mematikan
kreatifitas masyarakatnya sendiri. Kemudian masyarakat lupakan segala kelebihan
(bugi tai dimi, ekina muni dimi, koya owapa miyou ga kiya ke dimi gai dimi, eda
wagi dimi, dll) yang dimiliki dari sejak moyang orang Mee. Akhirnya kebiasaan
turun-temurun dari generasi ke generasi untuk hidup bertahan melalui usaha
berkebun, beternah, dalam masyarakat (suku Mee) akan hilangkan dengan
sendirinya. Apakah kita salahkan kehadiran pemerintahan atau masuknya agama,
ataukah orang-orang yang nota bene putra daerah yang duduk didalam?. Penulis
tidak memancing untuk menciptakan pemisahan antar pemerintah dan masyarakat
tetapi, sengaja utarakan untuk melihat dan mencari solusi yang cocok sesuai
dengan kondisi wilayah, masyarakat sambil mengedepan nilai-nilai, norma-norma
yang kita miliki.
Sebelumnya
terbangun pemikiran dikalangan masyarakat, kehadiran kabupaten berarti
penyelamat hidup kami, jadi untuk apa saya kerja cape-cape keluar keringat.
Kabupaten ada berarti tugas saya adalah harus buat proposal muda toh kenapa
pikir susah kerja diatas kertas koh. Kondisi sudah terbangun seperti ini
berarti kita salahkan siapa? apakah para orang yang munculkan ide pemekaran
kabupaten ataukah para pejabat didaerah. Kalau berpikir secara murni, arif,
bijaksana, terbentuk kabupaten administratif Paniai bersamaan dengan beberapa
kabupaten tetangga lainnya waktu itu merupakan solusi membuka daerah
terisolasi. Maka dengan ini, pencapaian terbentuknya kabupaten Paniai dapat
disambut dengan sikap terbuka oleh seluruh komponen masyarakat Paniai akan
tetapi sikap masyarakat belakangan terlihat berubah menjadi tertutup ragu.
Keterbukaan dan kepolosan mereka pihak pemerintah daerah Paniai tidak jelih
melihatnya untuk mengkonstruksikan kedepan, sesuai “Paniai Aweta Ena Agapida”.
Keraguan
yang dialami oleh masyarakat itu bisa dilihat dari sikap pemerintah daerah yang
sudah menjauhi dari kenyataan hidup masyarakat suku Mee dan suku lain yang ada
di wilayah kabupaten Paniai. Lebih jelasnya, pemerintah tidak membuka diri
untuk melihat kelebihan dan kelemahan yang ada didalam masyarakat itu apa saja
lalu mensikapi sambil mencari solusi.
Penghayatan
hidup yang dialami masyarakat suku Mee dan beberapa suku di Papua dapat diukur
dengan eksistensi dan realita hidup yang dimilkinya. Lalu dapat menyatuh dengan
apa yang kita miliki seperti “DIDE WUDII”. Dalam praktek dide wudii atau
pembagian porsi atau bagian untuk menjalani kenyataan hidup didalam
pemerintahan dan masyarakat harus diandalkan sesuai prinsip-prinsip atau
norma-norma yang dimilikinya. Jangan dianggap kuno atau primitif bila
menerapkan prinsip/norma adat dalam masing-masing suku (khusus suku Mee). Zaman
yang tidak menentu harus berpijak atas aspek produktif untuk berpikir sikap
produktif dengan kondisi kini. Jangan serong dari peluang strategi untuk
menghidupkan cara kita dide wudii yang dipandang paling pas/cocok bila
menerapkan pada zaman sekarang.
Realitas
hidup suku Mee dalam bentuk “dide wudii” atau membagi porsi tanpa dikurangi
atau melebih dari porsi yang ada merupakan realisasi dari wujud keadilan, kebersamaan,
persaudaraan, kekeluargaan dll. Bila ada keberpihakan kita untuk realisasikan
nilai-nilai atau norma-norma adat yang mendatangkan manfaat akomodatif suku Mee
sendiri harus diterapkan dari kalngan pemerintahan lalu ttutunkan ke masyarkat.
Misalnya, berarti dapat berpegang teguh pada nilai-nilai untuk memupuk
kebersamaan komunal sambil mewujudkan “dide wudii” itu sendiri dalam berbagai
hal.
D. Wujud Kebersamaan.
Pada bagian
itu penulis tidak menganalisis secara ilmiah sebagaimana seperti biasanya para
ilmuwan. Tetapi nilai kebersamaan yang kita simak secara sederhana tetapi
seksama adalah: wujud kebersamaan biasa-biasa saja ‘dide wudi’ tetapi punya
makna mendalam melalui simbol noken kecil ‘Ute/agiya’ yang selalu isi ubi
‘nota’. Masyarakat suku Mee kalau mau ke kebun pertama pikirkan itu,
‘ute/agiya’ kedua alat gali ‘wadi’ lalu kemudian gali ubi ‘nota ubai’
dikebunnya sendiri. Selesai gali bersihkan ubinya lalu kemudian diisi dalam
‘ute/agiya’. Nota yang banyak itu dapat disatukan dalam ‘ute/agiya’ lalu
membawa pulang kerumah. Diketahui bahwa dirumah ada tamu tetapi itu bukan
persoalan bagi tuan rumah namun
berpikir untuk membagi rasa melalui hasil
keringatnya itu. Terlihat merasa puas dengan hasil kebun dirasakan saat
membagikan nota yang sudah diisi dalam ‘ute’. Tuan rumah memiliki rasa tanggung
jawab untuk membagikan nota itu agar semuanya mendapatkan bagian yang sama
tanpa kekurangan. Tanpa mengalami kekurangan disitulah dapat terlihat kepuasan
secara bersama-sama dan juga terbangun rasa kebersamaan dan kekeluargaan secara
langsung maupun tak langsung.
Penulis
tidak mengutarakan secara lengkap tetapi ini untuk sekedar ketahui. Sekarang
giliran untuk pemerintah dan masyarakat di Paniai. Apakah pemerintah Paniai
dapat membagi porsi pembangunan itu secara baik dan benar untuk mencapai suatu
pemberdayaan dan kesejateraan masyarakatnya sendiri untuk mencapai harapan enai
mo ani gou/aweta ena agapida? Lalu kini posisi masyarakat Paniai sudah dimana?
Apakah ada dampak negatif dan positif istilah ‘dide wudii’ dan ‘proposal’ dalam
menjalankan tupoksi pemerintah Paniai, ditengah masyarakat yang tahu adat?
Dalam
kenyataan hidup suku Mee, bisa melihat kembali sebagai patokan dengan istilah
“DideWudi”. Dide wudi adalah membagi porsi atau bagian secara merata antara
satu dengan yang lain tanpa ada praktek monopoli baik itu antara kaya (tonowi)
atau miskin (daba) akan tetapi memperoleh hak yang sama dalam peraktek dide
wudi. Contoh riil yang terjadi didalam masyarakat suku Mee (suku-suku lain di
Papua) dalam membangun kebersamaan komunal masyarakat baik intern-suku maupun
ekstern-suku. Melalui beberapa orang atau satu dua orang dapat menyatakan wujud
nyata “dide wudi”. Sebab mereka mengambil hasil kebun yang mereka punya, lalu
isi didalam noken kecil “ute” setelah itu dapat menggumpulkan menjadi satu.
Kemudian setelah itu hasilnya dapat membagikan kepada sesama yang lain secara
tulus.
Dide wudi
ini, dikenal secara turun-temurun dari sejak moyang masyarakat suku Mee melalui
terjadi kontak batin antara satu dengan lain untuk mencapai kepuasan/kenyang
dari lapar. Realisasinya tanpa memandang kedudukan baik orang kaya (tonowi) dan
orang miskin (daba bage), rumah berdampingan untuk jadi pembantu dalam
kerja-kerja harian orang kaya. Rumah laki-laki (ema owa/yamewa) ditengah-tengah
rumah kaum hawa atau istri-istri (kewita/dagu), maka itu segala perhatian untuk
membagi porsi atau bagian sesuai peruntukan tidak datang dari salah satu saja
tetapi dari semua wanita.
Wujud kasih,
“dide wudi” melalui sumbangan bagian nota-ubi yang diantar ke rumah laki-laki.
Terjadi tanpa ada unsur paksaan dari siapapun seperti biasanya kalau waktunya
tepat dapat membagi namun terlebih dahulu mengetahui jumlah orang yang ada
dirumah laki-laki (yamewa) melalui anak-anaknya. Untuk mengetahui berapa orang
yang ada didalamnya agar nantinya tidak mengalami kekurangan. Wujud kasih yang
terjadi dapat terlihat dan terasa sekali ketika kantong (noken kecil-agiya ute)
diisi dengan ubi (nota) lalu mengantarkan ke rumah laki-laki. Bentuk kasih yang
datang dari rumah wanita (kewita) bukan suatu hal yang baru tetapi cara hidup
mengasihi yang sudah tumbuh sejak jaman moyang orang Mee.
Kini sudah
jarang terlihat tetapi masih ada praktek saling membangi bagian saya kepada
sesama saya yang lain secara spontan (kini terlihat tidak sistematis seperti
dulu) didalam masyarakt suku Mee dan sebaliknya kepada suku-suku lain.
1. Dasar “Dide Wudi”.
Mengetahui
mengenai pendekatan kebutuhan dasar “dide wudi” berarti manusia tumbuh dari
usaha pencarian suatu strategi pembagunan yang bisa lebih efektif dalam
menangani persoalan yang dialami masyarakat untuk mewujudkan pembangunan itu
sendiri sesuai peruntukan, perencanaan program demi mencapai target
pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Mencapai
kebutuhan mendasarkan secara maksimal seharusnya Paniai harus memiliki strategi
dan target program sesuai norma-norma, prinsip-prinsip, nilai-nilai adat. Namun
selamai ini dari sejak terbentuknya kabupaten Paniai 1996 ibukotanya Enarotali,
tidak jelas agenda program pembangunannya. Biarpun ada program pembangunan akan
tetapi sasaran yang hendak dicapainya tidak jelas, seharusnya strategi demikian
itu mampu membalikkan kecenderungan ketidakmerataan yang semakin meningkat
dalam masyaraakat yang sedang berkembang.
Menatap
kondisi keberadaan pemerintah Paniai dimasa transisi ini seyogyanya
menghidupkan cara hidup sederhana yang sudah kenal, menyatu dengan masyarakat
suku Mee agar bisa menikmati kesejahteraan dan mencapai kemakmuran rakyat
secara adil merata. Untuk menujuh pemberdayaan kesejahteraan masyarakat yang
adil dan makmur atas prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou
tai” artinya bekerja bersama, membangun bersama, untuk menciptakan suasana
hidup bersama.
Untuk
mencapai prinsip “enaimo ekowai, enaimo ani gou tiya ke, umi tou tai”, bila
memahami arti kata seperti ini, akan kembali pada pembagian porsi sesuai
peruntukan sasaran yang ada. Porsi yang dikenal ada biaya anggaran-anggaran
pemerintah daerah, operasionalnya melalui instansi terkait maka berupaya untuk
merealisasi berdasarkan sasaran program kerja tanpa menghambat atau
mempengaruhinya harus ada garis komando (kontrol secara jelas, tegas dan
bijaksana) atas kewibawaan sebagai pimpinan.
‘Dide wudi’
kita pahami bahwa pembagian porsi yang dapat melalui pemerintahan daerah
kabupaten/kota, atau lewat orang-orang kepercayaan masyarakat harus bersifat
humanis dalam menata, membenahi segala persoalan porsi ‘dide’ yang ada
didalamnya. Lalu kemudian akan membangun kebersamaan, kekeluargaan untuk menata
dan membangun kebersamaan atas wilayahnya. Istilahnya saling bahu-membahu asal
membedakan porsi-porsi (dide) secara jelas, agar dalam penafsiran pembangunan
kedepan pun dapat terlaksana tanpa ada hambatan diantara konsep dan program operasional
didaerah.
Dalam
tulisan singkat ini kami mencoba mengutarakan gambaran sederhana dan tentu saja
mungkin tidak sepadan dengan pelaku pengambil kebijakan pembagunan didaerah.
Kami berkeyakinan bahwa untuk membangun suatu wilayah itu gampang-gampang sulit
(tidak muda membalik telapak tangan kita) sebab disana kita akan menghadapi
dengan berbagai macam persoalan. Persoalan tersebut, baik yang sudah ada dan
persoalan yang baru ada setelah pemerintah kabupaten itu terbentuk. Maka dengan
demikian kami mencobah menggambarkan dalam bentuk sederhana untuk lebih jelas
koordinasi pengawasan kerja secara top doun dari atas (Bupati) maupun bottom up
dari bawah (kabag sebagai bawahan dan masyarakat sebagai pemacu proses
pembangunan), seperti berikut:
Ti Pek,03
Setelah
mencermati gambaran sederhana diatas maka perlu memikirkan tentang pendekataan
kebutuhan pokok masyarakat yang mendasar. Perlu menyadari juga bahwa kita belum
terlambat untuk merubah dan memulai kebijakan tegas untuk menentukan kedepan
“hendak membawah kemana”, apakah kita berhenti, memusuhi antara kita, ataukah
sama-sama tentukan“ belum terlambat mari menatap untuk membangun Paniai.
Setelah memahami kondisi masyarakat sekitar lalu mencari solusi pemecahan
persoalan yang ada. Salah satu solusi melihat dan memecahkan persoalan adalah
“dide wudi” sebab tantangan langsung dan tak langsung dalam kesejahteraan
masyarakat sudah menghantui dengan segala usaha pintas.
Dengan
demikian memenuhi kebutuhan masyarakat disegala sektor kehidupan, jangan
berfikir menghayal sampai ke kota metropolitan tetapi harus melihat dari perut
masyarakatmu yang sedang lapar lalu keluar. Gambaran pemikiran secara alami
perlu hidupkan kembali dalam kondisi kini yang serba sulit menujuh
kesejahteraan dengan motto yang indah mendalam diatas kertas itu.
Berarti
saatnya untuk kembali merenung pengalaman hendak membawah kemana pemerintahan
serta rakyatnya yang ada didalam. Kita sebagai sesama manusia yang sama tanpa
merendahkan antara kita maka merekapun secara terbuka bisa menginstrospeksi
diri sebagai pemimpin putra daerah. Hal seperti ini dari kita untuk masyarakat
kita maka mari melihat secara mendalam memimpin pemerintahan, dimana memiliki
kekuatan kekuasaan atas wilayahnya serta masyarakatnya disegala aspek kehidupan
yang ada didalam struktur kepemerintahan secara lembaga pemerintah, lalu
kemudian komparasikan kedalam kondisi daerah setempatnya.
2. Dasar Proposal.
Disini tidak
memberikan ketegasan dasar proposal, akan tetapi sekedar pandangan agar bisa
mengetahui untuk jadi bahan merenung. Secara jujur, proposal yang kini dikenal
seluruh komponen lapisan masyarakat ini mengundang pertanyaan. Proposal itu apa
sebenarnya? Dengan adanya istilah proposal kini, apakah ada jaminan hidup lebih
baik atau tidak?
Proposal,
jelas tulisan diatas kertas yang mengutarakan berdasarkan keinginan,
kebutuhannya yang membutuhkan. Yang jelas perincian biaya barang-barang lalu
tutup dengan bunyi jumlah total rupiah. Ironisnya, orang sibukan diri dengan
proposal lupa segalanya baik itu berkebun, beternak, berpikir untuk membuat
pagar, menanam kopi dan lain-lain. Angin proposal, bunyinya sangat menarik
namun kenyataannya tidak jelas, merupakan pelajaran buat pemerintah untuk
mencari solusi. Salah satu solusi harus ada pengawas melalui instansi terkait
yang selalu siap turun ke lokasi untuk mengecek langsung, sambil memberikan
penyuluhan atau dalam bentuk lain. Setelah melihat hasil lalu membantu sesuai
permintaan yang diutarakan dalam proposal tersebut.
Ide untuk
menyarankan buat proposal ini sangat bagus, apabila itu menunjang segala
kreatifitas masyarakat yang ada. Kondisi nyata, justru karena proposal
mematikan segala kreatifitas yang sudah ada karena segala harapan fokuskan pada
proposalnya. Jadi istilah “berkebun, berternak” berubah jadi “proposal” dan
disitu tidak akan terbangun, daya kreasi hidup membuat rumah, kebun, berternak,
pun dilupakan begitu saja.Jadi kasarnya akan tumbuh pemikiran/anggapan gampang.
Proposal
tersebut ini, tidak memancing pemisahan berpendapat akan tetapi menyatukan
persepsi lalu melihat segala eksistensi manusia itu sendiri. Agar supaya,
eksistensi manusia itu dapat dipertahankan dengan segala kreasi, hidup aman,
bersama, kekeluargaan, demokratis, tanpa bergantung kayak “kepeigo” dalam
menjalani hidup. Jadi intinya, usaha yang dapat mengeluarkan keringat dapat
bermanfaat ketimbang usaha yang berpikir kertas dan alat tulis.
3. Melalui Eba mukai
artinya:(Pengumpulang dana)
Eba mukai
tidak langsung lakukan tetapi, terlebih dahulu dapat mengutarakan
alternatif-alternatif melalui orang yang memahami persoalan. Lalu kemudian
mencari solusi penyelesaian melalui eba mukai. Cara hidup ‘eba mukai’ dapat
terlihat ketika pada saat-saat tertentu. Dimana saat tertentu yang dapat
mengahadapi persoalan-persoalan. Persoalannya, yakni membayar mas kawin,
menyelesaikan perkara, membiayai anak sekolah, dan lain-lain. Cara
pelaksanaannya dapat menyumbangkan uang (mege) berapapun diatas ‘eba’ yang
ditebarkan diatas tanah.
Praktek
‘ebamukai’ dapat hidupkan saat apapuan untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapi dalam masyarakat. Jadi eba mukai dapat terlihat, secara spontan
menggerakkan hati kepada orang-orang yang ada disekitar untuk menyumbangkan.
Sumbangan yang disumbang dinillai berharga sebab menyelesaikan persoalan. Dan
juga cara ‘eba mukai’ dapat mempererat hubungan kebersamaan dan kekompakan
dalam kehidupan bermasyarakat secara mandiri.
4. Berkebun bersama ( Bugitai enaimo
).
Pertama sebelum
mengetahui kebutuhan pangan terlebih dahulu harus mengetahui keberadaan
masyarakat suku Mee. Keberadaan suku Mee secara geografis dapat diapit oleh
beberapa gunung, lembah dan danau yang mendatangkan manfaat lipat ganda dalam
mencukupi kebutuhan pangan. Dengan cara berkebun dan beternak babi. Pemenuhan
kebutuhan (hidup) pangan masyarakaat suku Mee, dapat terlihat ketika menyatuh
dengan alam melalui cara membuat pagar, bersihkan ladang, membakar pada
bagian-bagian yang sudah dibersihkan, lalu mulai tanam ubi, keladi, sayur,
pisang, dan lain-lain ditanami sesuai kebutuhannya. Akhirnya terbentuk suatu
ladang atau kebun, maka pemilik harus menjaga dan merawat dengan penuh
tanggung-jawab sampai mengambil (panen) hasil kebunnya. Dalam memenuhi dan
mempertahankan hidupnya pun mereka harus berusaha untuk mengeluarkan keringat.
Keringat yang disita tidak sia-sia begitu saja tetapi bisa diukur juga dengan
produksi yang setimpal melalui hasil panen kebunnya.
Jadi perlu
mengetahui bahwa kebutuhan pangan yang dikenal masyarakat suku Mee melalui cara
bercocok tanam bukan hal yang baru. Sudah lama mengenal cara hidup berladang
atau berkebun permanen dilahan-lahan yang memproduksi hasilnya sesuai pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, tidak dibatasi bagi
mereka pemilik saja akan tetapi hasilnya dapat dinikmati bersama dengan
tetangga masyarakat yang lain.
Lalu setelah
terbentuknya kabupaten Paniai masyarakat adat maka upaya apa yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap masyarakat guna untuk memenuhi kebutuhan pangan?
Apakah ada upaya lain dari pemerintah untuk membangkitkan semangat kreatifitas
masyarakat untuk berkebun, beternak, dan lai-lain?
5. Beternak (muniya agiyo)
Kreasi untuk
mempertahankan dan mengembangkan peternakan babi dapat dihidupkan sebaiknya.
Kalau tidak apa yang terjadi, kehidupan masyarakat adat setempat tidak bertahan
hidup permanent atas usahanya. Masyarakat Mee dapat menampilkan kebolehannya
melalui usaha beternak babi, sebab dengan usaha ternak babi bisa mendatangkan
harta. Dan juga membangun relasi antara lingkup keluarga atau sahabat melalui,
iyobai, mune, pekanapo, dan lain-lain.
Dengan
melalui adanya ternak itu, membuat orang Mee tidak bisa kemana-mana dengan
perhitungan bahwa kalau saya pergi nanti siapa yang memperhatikan ternak saya.
Dan juga membentuk komitmen diri atas ternak. Biasa saja titipkan ke orang lain
tetapi sering muncul perasaan bahwa kalau saya tidak memperhatikan berarti
nanti tidak sehat.
6. Ekonomi ( Edepede )
Kebutuhan
ekonomi (edepede tiya duba) yang dikembangkan pemerintah daerah, tidak lain
mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pada kesempatan ini, penulis
mempertegas sampai dimana kredibilitas pengambil kebijakan didaerah untuk
mencapai sasaran kesejahteraan secara merata. Kita belum terlambat untuk
memulai kembali sambil merefleksikan diri, apakah selama ini betul-betul
memperhatikan kesejahteraan masyarakat atau sebaliknya kesejahteraan pribadi,
keluarga dll.
Kebutuhan
ekonomi masyarakat merupakan hal mendasar untuk penentu kehidupan masyarakat
kedepan. Mencapai target kesejahteraan dan pemberdayaan untuk menempu hidup
yang diidealkan harus memulai dari penguatan basis-basis kreatifitas masyarakat
setempat. Sambil mengenal kelebihan dan kelemahan yang mereka miliki untuk kembangkan
kreatifitas usaha masyarakat setempat.
Dulu dalam
suku Mee dapat mengenal “duwa uwii/jawi” dalam rangka mencari kulit bia/siput
untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarga. Tampat yang menjadi sasaran cari
kulit bia/siput di pantai selatan dan pantai teluk cenderawasi. Saat mereka
tinggalkan rumah orang rumah selalu menjaga kebersaman agar dalam perjalanan
suami bisa sukses. Ujud kebersamaan yang istri pegang adalah tidak boleh
bersihkan keluar kotoran yang ada didalam rumah sebelum suami kembali kerumah.
7. Bermusyawara dan Berdemokrasi
(enaimo, ena mana wegai).
Bermusyawara
dan berdemokrasi yang dibangun masyarakat suku Mee, bukan hal baru tetapi sudah
kenal ada cukup lama. Bermusyawara dapat terjadi kapan saja untuk mencapai kesepakatan
bersama. Bermusyawara yang diandalkan orang Mee tidak muda dan tidak singkat
pula, sebab dalam bermusyawara harus mengutarakan segala alternatif, baik itu
kaya-miskin demi untuk mencapai sasaran dan kesimpulan yang memuaskan.
Mengandalkan saling mendengarkan untuk memahami makna yang diutarakan, kalau
tertarik dan menyentuh sasaran, dipandangan pendengar maka minta diulang-ulang
sekali lagi karena “berbobot” mana enano enama weegai.
Berdemokrasi
yang dibangun dalam budaya suku Mee, dapat terlihat ketika terjadi demokrasi
merakyat untuk menampung segala masukan-masuk. Demokrasi merakyat dalam suku
Mee dapat mengutarakan segala bahasa, pandangan, gagasan, lalu menghimpun
segala masukan-masukan tadi. Kelebihan yang ada, saling mendengar “dengar pendapat”
dari berbagai lapisan, baik itu suara dari orang kaya, orang miskin, orang yang
hidup sederhana, perempuan, tanpa memandang kelas, prinsipnya untuk mencapai
hidup berdemokrasi.
Bila
memahami pemikiran simpel bermakna diatas ini, kini kembali kepada pelaku
pengambil kebijakan pembangunan dikabupaten Paniai. Apakah bermusyawara dan
berdemokrasi budaya suku Mee itu masih hidup atau tidak? Bila dipandang tidak,
solusi apa yang dipakai pemerintah daerah selaku penggerak pembangunan
kabupaten Paniai ini? Kalau demikian proteksi apa yang diterapkan pemerintah
daerah agar “musyawara dan demokrasi” itu terbangun antara pemerintah dan
masyarakat (keterlibatan semua lapisan masyarakat)? Demi mencapai program
pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah daerah harus melalui
keterlitabatan masyarakat didaerah, jangan sepihak semata.
Pertanyaan
diatas, dapat dijawab sesuai “karya nyata” bukan diminta jawab diatas “kertas”
untuk diucapkan sebatas “kata-kata”. Sebab dalam masyarakat “berbudaya” selalu
menyesuaikan dengan apa yang mereka miliki dan apa yang dilakukan sesuai
“perbuatan karya nyata”. Itupun kalau keluar dari nilai budaya yang menunjang
bagi mereka berarti dapat dipahami bahwa transisi budaya suku Mee itu
betul-betul terjadi.
Tolok ukur
yang menjadi dasar dalam membenahi segala kelemahan dan kelebihan, harus
melalui bermusyawara dan berdemokrasi. Tanpa musyawara dan berdemokrasi atas
segala fenomena yang terjadi disekitar kita berarti diambang perpecahan atas
harta budaya suku Mee itu sendiri.
8. Konstruksi Rumah ( Owaa migi ).
Kemandirian
masyarakat suku Mee dapat dilihat eksistensi membangun rumah ditempat-tempat moyang
mereka. Sebagai warisan dapat dipilah secara jelas melalui marga/klen (tuma
pepe) untuk mengakui status tanah (owa komouda) dan rumah yang ada diatasnya.
Oleh karena itu, perumahan masyarakat suku Mee tidak seperti pembangunan
program pemerintah yang terlihat seragam teratur. Kini sepertinya memandang
rumah adat orang Mee tidak sesuai dan dipandang primitif. Seyogyanya, harus ada
upaya produktif pengembangan rumah semi-modern dengan motif rumah adat orang
Mee, kalau tidak berpikir kesana berarti tinggal tunggu kenangan.
Secara
terbuka dapat mengakui perumahan permanen masyarakat suku Mee dikenal dan
dibangun secara alami dengan hasil alam setempat tanpa mengeluarkan biaya yang
cukup mahal untuk mendatangkan bahan dari luar, seperti paku, semen, daun sent,
gergaji dan lain-lain. Rumah adat dan rumah bentuk baru dapat diukur sesuai
fungsi lama-cepatnya bertahan, membandingkan rumah yang dibuat secara alami
(adat suku Mee) dan rumah motif inovatif dapat terlihat perbandingannya dari
bentuk fisik cepat-lamanya bertahan.
Melalui
bidang teknis dinas pekerjaan umum atau kimpraswil seyogyanya mengembangkan
perumahan rakyat yang merakyat sesuai kondisi alam setempat. Jangan asal dengan
melihat bunyi anggaran proyek besar akhirnya menggelabui istilahnya kejar proyek.
Jadi program pembangunan secara lokal ada maupun baru datang dari luar pada
prinsipnya harus mempelajari kondisi alam terlebih dahulu sebelum memulai dan
merencanakan program pembangunan. Kemudian bisa memperkirakan sambil
memperhitungkan untung-rugi yang akan mengalami dalam proses pembangunan
transisi yang dialami oleh masyarakat suku Mee jadi jangan asal.
Kalau tidak
menghargai eksistensi keberadaan masyarakat suku Mee dengan rumah permanent
layak tinggal seperti asal bangun tidak berumur berarti masyarakat suku Mee itu
dikategorikan jadi apa atau dibuang kemana?
9. Pendidikan (Topiya/akatope`).
Pendidikan
yang dikenal masyarakat suku Mee adalah pendidikan informal dan pendidikan
formal. Pendidikan informal dalam suku Mee sudah kenal sejak lama melalui, cara
membuat panah, cara membuat noken, cara beternak, buat kebun, dll. Pendidikan
formal dapat mengenal sejak pengaruh luar masuk di wilayah Paniai.
Pendidikan
formal sebagai penentu maju-mundurnya perkembangan mutu kualitas sumber daya manusia
lalu kemudian mengisi menjadi penggerak estafet pembangunan bangsanya. Sebab,
pendidikan formal yang ditempuh secara sistematis adalah bekal untuk membangun
kondisi masyarakat yang dulunya dipandang tertinggal menjadi maju melalui
putra-putrinya yang sudah, sedang dan akan sekolah itu.
Pendidikan
Informal yang sudah kenal oleh masyarakat adalah cara pendidikan yang sudah ada
(alami yang masyarakat kenal/miliki) sebelum adanya kontak pengaruh luar dan
dapat dijadikan dasar atau pondasi untuk petahankan sambil menyesuaikan dengan
perkembangan pendidikan formal yang kita kenal sekarang.
E. Penutup.(mumai yago)
Penutup
bukan berarti mengakhiri segala gagasan tersebut itu sempurna dan terjawab akan
tetapi diatas ini belum mendasar apalagi menyentu, tetapi penulis berkeyakinan
bahwa saudara dan saya kita bisa membenahi tanpa menilai-nilai. Gagasan
sederhana diatas merupakan rambu-rambu awal dan sebagai tahap awal untuk kita
berpikir mengoreksi kemudian rekonstruksikan sesuai dengan yang sebenarnya.
Pada kesempatan ini pun saya tidak bersifat tegas atas pandangan gagasan
tersebut sebab ketegasan ada disaudara dan saya untuk menata dan membenahi
sesuai perubahan transisi yang terjadi, kondisi dinamis mengajak untuk memilah
yang bermanfaat dan merugikan.
Mee ko, owa ageida make, dimi yamo gai,
wadogai tiya , yuwoda ka dimika ko, ena ma peuma koyoka
Pustaka:
Wordpressobaipayavet@gmail.com
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SUKU MEE
suku Mee di paniai
|
Budaya memang harus di lestarikan namun untuk melestarikanya kita
membutuhkan suatu komitmen dan rasa memiliki dalam diri seseorang individu.
Budaya pada dekade akhir-akhir ini merupakan suatu wacana memang jarang di
perbincangkan oleh banyak orang mengapa karena mereka mengangap bahwa itu
merupakan hal klasik dan merupakan suatu momok memalukan untuk diri mereka
sendiri. Mengapa mereka tidak mau meleatarikan budaya mereka ? beberapa alasan
yang mendasari mereka adalah:
- Manusia adalah menjadikan budaya sebagai suatu momok yang memalukan.
- Budaya bagi mereka tidak akan memberikan keuntungan dalam hidup mereka.
- Budaya bukan bagian dari hidup mereka dalam arti bahwa budaya bukanlah waktu buat merekan dalam konteks bahwa zaman modern.
- Budaya hanya banyak berbicara masalah orang-orang kampung saja.
- Budaya bukanlah milik mereka namun itu hanya milik orang kampung dll.
karena budaya di miliki oleh
setiap manusia dan pastinya berbeda. Budaya mee adalah salah satu adopsi dari
beberapa budaya dan tradisi yang terdapat di pegunungan tengah papua masyarakat
mee. Tujuan dari Suku mee sendiri terbentuk dan ada di dunia adalah untuk
menjaga dan melestarikan budaya ini bukan menjadi pengikut budaya lain. Suatu
tradisi akan muncul ketika seseorang mendapat masalah atau problem dan
bagaimana dia mengahadapi dan memecahkan masalah tersebut. Maka cara orang itu
menyelesaikan masalah itu yang akan menjadi suatu tradisi dalam suku tersebut.
Maka jasanya itu akan dijadikan sebuah symbol dengan membentuk sebuah ritual
contohnya pesta yuwo (pesta emas) dengan pencipta pesta ini atau seorang
peternak babi dari kampung uwamani.
- Siapa suku mee itu ?
Siapa
suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di Papua.
Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas
wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai,Lembah Bedu/Sirowo, danau Tage,
Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiha/ Mapisa. Namun,
kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari
Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire.Dan dua Kabupaten,
yaitu Dogiyai, dan Deiyai Ketiga kabupaten tersebut itulah yang dinyatakan suku
mee.
Arsitektur tradisional adalah wujud suatu kebudayaan yang
bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan suatu suku
atau bangsa. Dalam arsitektur tradisional Suku Mee Papua terkandung secara
terpadu wujud kebudayaan orang Mee seperti ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturann, pendangan hidup dan lain sebagainya.
Arsitektur tradisional adalah wujud karya nyata leluhur. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya leluhur itu dapat di lestarikan
atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan
tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang
bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku
atau bangsa mee itu sendiri. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa
diraba/ dilihat.
Dalam arsitektur tradisional suku Mee Papua terkandung
nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui karya arsitektur tradisional.
Arsitektur tradisional yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan
akhir atas pengujian alami yang di lakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu,
yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh oleh Mee, dan
“diwujudkan” dibangun sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang
kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial,
ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
- Arsitektur tradisional suku Mee Papua
berikut ini adalah salah satu dari berbagai macam suku di Papua
yang memilki nilai-nilai, bentuk dan ukuran, serta ungkapan jiwa melalui
arsitektur yang sangat berbeda. Tulisan berikut ini adalah salah satu suku mee
yang berhasil dihimpun melalui suatu penelitian “survei” pada beberapa waktu
laktu lalu. Dalam penelitian “survey” yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan
Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu berhasil dikumpulkan data dan fakta
di lokasi penelitian yang dimaksud. Pada akhirnya menemukan beberapa tipe
arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua yang di bahas
berikut ini.
Tulisan berikut ini merupakan gambaran umum daripada hasil penelitian itu, yang di bahas dari sudut pandang arsitekturnya saja. Untuk, itu pembahasan yang lebih mendalam lengkap dengan kajian filosofi, antropologi budaya, sosial, dan lain sebagainya kita akan bahas di waktu dan lain tempat waktu-waktu yang akan datang.
1. Tipologi arsitektur rumah tradisional
Tulisan berikut ini merupakan gambaran umum daripada hasil penelitian itu, yang di bahas dari sudut pandang arsitekturnya saja. Untuk, itu pembahasan yang lebih mendalam lengkap dengan kajian filosofi, antropologi budaya, sosial, dan lain sebagainya kita akan bahas di waktu dan lain tempat waktu-waktu yang akan datang.
1. Tipologi arsitektur rumah tradisional
Ada 7 (tujuh) Tipe arsitektur rumah tradisional diantaranya
adalah (1) Yame Owa Secara harafia Yame artinya laki-laki Owa artinya rumah.
Yame Owa artinya (Rumah tinggal laki-laki). Rumah ini dibangun untuk tempat
tinggal laki-laki dalam suatu kampung. Semua bangunan (Yame Owa) yang di bangun
dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Fungsi rumah Yame Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal
laki-laki. Tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang perlu
dilakukan oleh laki-laki secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal
laki-laki, Yame owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, tempat
menyelesaikan persoalan (perang, maskawin), tempat menyimpang alat-alat perang
(panah) pusat pembuatan alat perkebunan dan alat kesenian. Dan tempat
mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan nasehat bagi semua laki-laki sejak
usia 4/5 tahun.
Tidak ada ukuran standar yang diturunkan oleh nenek moyang.
Tetapi dibangun dengan perkiraan atas kebutuhan akan ruang dan penghuni. Cara
menentukan ukuran bangunan adalah dengan mengukur dengan tangan (jari-jari)
atau kaki. Cara lain adalah memperkirakan dengan ukuran tinggi manusia dengan
tinggi bangunan. Ukuran bangunan ini, yang telah dibangun adalah Panjang
±350cm. Lebar ±300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding±150-200cm. Kemiringan Atap
±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yame Owa adalah untuk penutup
atap menggunakan kulit kayu. Panjang pohon ini diperkirakan sekitar
±30.000cm-50.000cm. Diameter pohon ini sekitar 30 – 70 centi meter. Ketebalan
kulit kayu ini adalah 0,3 cm. Panjang ukuran yang sering dipakai untuk penutup
atap adalah ± 60 - 200 cm. Panjang ini bukan standar yang dipakai, namun
ditentukan serat pohan itu sendiri.
Jenis bahan yang di pakai untuk struktur bangunan adalah berupa
tiang-tiang pancang. Pada dinding bangunan mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan
pertama dinding luar mengunakan tiang-tiang, lapisan kedua kulit kayu dan
lapisan ketiga menggunakan papan cincang. Bahan yang dipakai untuk lantai
terdiri dari tiang pondasi panggung, balok induk (mutaidaa), balok anak (yokaa
mutaida), deretan kayu buah yang berukuran kecil yang di ikat dengan balok
anak. (katage). Selanjutnya adalah lapisan paling atas yaitu kulit pohon kelapa
hutan. (tibaa).
1. Yagamo Owa
, secara harafia kata Yagamo artinya perempuan Owa artinya
rumah, Yagamo Owa artinya (Rumah tinggal perempuan). Fungsi rumah Yagamo Owa
bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal bagi perempuan, tetapi dalam rumah
ini terjadi berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan secara
turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal perempuan, fungsi lain dari Yagamo
Owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, serta tempat proses belajar
bagi anak-anak perempuan. Tempat menyimpang alat-alat perkebunan (yadokopa),
pusat pembuatan alat penangkap ikan.
Ukuran bangunan Yagamo Owa, adalah panjang 350cm. Lebar 300cm.
Tinggi lantai ±60cm. Dinding ±150- 200 cm. Kemiringan atap ±150-300. Ketinggian
atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yagamo Owa, untuk penutup atap
menggunakan daun pandang dan alang-alang serta beberapa jenis bahan penutup
atap lainnya. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan
ketersediaan bahan di sekitarnya. Pada umunya, bahan penutup atap Yagamo Owa
adalah yage dan widime. Kedua jenis bahan ini mampu bertahan sampai berpuluhan
tahun. Secara struktural bangunan, Yagamo Owa hampir sama dengan Yame Owa.
Namun, yang membedakan adalah pada ornamen-ornamen san bahan yang digunakan.
2.
Tii-Daa Bega Owa (Rumah Honai)
secara harafiah tii-da bega owa artinya sebuah bangunan yang
membentuk gunung yang mempunyai ujung yang tajam. Fungsi bangunan ini
adalah dua yaitu difungsikan untuk tempat tinggal laki-laki dan tempat
perempuan. Selain itu fungsi lain adalah tempat menyimpan barang-barang
berharga dari laki-laki ataupun perempuan. Lokasi bangunan ini berada di
kampung-kampung, namun jarang di bangun dengan alasan bahwa rumah honai adalah
rumah adat suku Dani (Wamena). Tetapi ada perbedaan yang dapat dilihat adalah
ketinggian bangunan. Dimana bangunan rumah honai suku mee lebih tinggi dari
pada dani (wamena). Bahan yang digunakan untuk memdirikan banguan ini adalah
sama dengan bangunan lain yang ada di suku mee. Tetapi pada bagian penutup atap
menggunan alang alang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan kayu
buah. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding. Sehingga pada
malam hari terjadi kedinginan.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai 60cm, tinggi dinding
150-200cm, tinggi atap ± 100cm, lebar ± 250-300cm, panjang ± 250- ±300m. Bentuk
bangunan ini sama dengan lingkaran dengan besar diameter ±250-300cm.
3. Yuwo Owa(Rumah Dansa)
secara harafiah dapat diartikan bahwa Yuwo artinya pesta Owa
artinya rumah, sehingga rumah ini sering disebut rumah pesta adat suku Mee.
Bila dipandang dari segi aktivitas dalam rumah ini, memiliki banyak “nama”.
Aktivitas yang dilakukan pada saat puncak pelaksanaan pesta adat, sebelum
aataupun sesudah sangat berfariasi.
Fungsi bangunan ini adalah pertama, tempat melakukan jual-beli
dengan cara balter dan uang tradisional (kulit kerang). Kedua, tempat mencari
jodoh, saat melakukan pesta adat laki-laki dan perempuan saling tukar gelang
atau kalung sebagai tanda ungkapan cinta. Ketiga, tempat hiburan malam. Satu
minggu satu kali mereka tentuykan sebagai malam hiburan, untuk mengekspresikan
seni tari maupun seni suara dalam rumah ini. Untul mendirikan rumah ini perlu
pertingan secara matang. Bangunan ini adalah bangunan yang paling besar yang
dibangnun oleh suku Mee.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai ±40cm, tinggi dinding
±200cm, tinggi atap 150cm, lebar bangunan 1.300cm, panjang bangunan ± 2.100cm.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini adalah sama
dengan bahan bangunan lainya. Tetapi pada bagian penutup atap menggunakan daun
pandang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan tiang-tiang. Pada
setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding (papan cincang). Sehingga
pada malam hari terjadi kedinginan. Bentuk banguan ini sama dengan lain yaitu
persegi empat.
4. Daba Owa (Rumah Pondok)
secara harafia kata Daba artinya Daba kecil Owa artinya rumah,
Daba Owa artinya (Rumah pomdok kecil). Rumah pondok di bangun di kebun
hutan.
Fungsi rumah Daba Owa bukan hanya merupakan suatu tempat
istirahat pada siang hari, tetapi dalam rumah ini terdapat banyak fungsi yang
meliputi pertama, tempat masak-masak hasil kebun. Kedua, tempat menyimpan
kampak/ parang, alat-alat perkebunan, dan alat-alat perburuan. Ketiga, tempat
berlindung dari hujan dan panas sinar matahari. Keempat, tempat menjaga
binatang liar agar tidak mencungkil tanaman.
Ukuran bangunan Daba Owa, adalah panjang ±250cm. Lebar ±200cm.
Tinggi dinding ±150-200cm. Kemiringan atap ± 150-300. Ketinggian atap ±
100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Daba Owa, untuk penutup atap
menggunakan daun pandang,alang-alang dan kulit kayu. Penggunaan jenis bahan
penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Secara
struktural bangunan, Daba Owa tidak sebanyak lapisan seperti Yame Owa dan
Yagamo Owa. Struktur dinding Daba Owa hanya satu lapisan. Deretan tiang-tiang
yang membentuk dingding ini, juga berfungsi sebagai struktur utama bangunan
ini.
5. Ekina Owa (Kandang Babi)
Babi merupkan jenis binatang piaraan yang sangat berharga dalam
kehidupan suku Mee. Sehingga untuk menjaga agar babi itu tetap hidup dalam
kandang yang aman dan nyaman maka dibangun sebuah rumah (kandang) sendiri. Bagi
orang Mee babi merupakan salah satu penentu status sosial dalam kehidupan
masyarakat, yang sering disebut tonawi. Seseorang bisa dikatakan tonawi karena
dia memiliki kekayaan (babi banyak) dan mempunyai istri yang banyak serta
mempunyai atau mengetahui hal-hal mistik.
Fungsi rumah ini adalah tempat tinggal/ kandang babi. Menurut
cerita mitos, manusia (orang mee), hidup bersama dengan ekina dalam satu rumah.
Sekarang lokasi rumah ini berada di pingir atau di dekat rumah laki-laki atau
perempuan. Jarak antara rumah tinggal dengan ekina owa di batasi oleh pagar
(wee eda). Ukuran bangunan ini adalah sekitar 1-2 meter, ukuran ini sangat
berfariasi. Dan di tentukan oleh jumlah babi yang di milikinya.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain,
yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi
hanya sebagian.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi
untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit
kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun
penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
6. Bedo Owa (Kandang Ayam).
Orang Mee sampai saat ini meyakini bahwa ayam merupakang
binatang piarahan pendantang, karana belum terdapat di daerah Paniai. Namun
demikian, pada saat ini yaitu sekitar tahun 1970-an ayam dipelihara sebagai
salah pemberi protein bagi tubuh manusia. Ayam hadir di daerah atas bantuan
pemerintah dan di bawah dari luar daerah ini.
Sesuai dengan nama rumah ini, fungsinya adalah kandang ayam.
Dalam rumah ini orang Mee memelihara ayam. Ayam-ayam akan tinggal dalam rumah
ini hanya pada malam hari. Karena pada siang hari ayam-ayam tersebut
berkliharaan di pinggir rumah atau kebun dekat ruamh tinggal. Sistem
pemeliaraan ini memberikan kesempatan pada burung-burung pemakan daging
misalnya elang untuk membunuh anak ayam.
Saat ini orang Mee mengetahui dan membedahkan bagaimana
mendirikan sebuah rumah untuk kandang ayam ataupun bebek, atau jenis binatang
piaraan lainya. Akan tetapi sampai saat ini belum mengenal cara dan sistem
pemeliharaan yang baik dan benar.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain,
yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi
hanya sebagian. Ukuran kandang ayam ini, memiliki panjang ±200cm, lebar
±200cm.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi
untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit
kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun
penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
2.Tipologi Arsitektur Pagar Tradisional
Pagar merupakan suatu elemen arsitektur yang di gunakan untuk
melindungi kenyamanan dalam rumah maupun kebun. Ada dua fungsi utama pagar bagi
orang Mee adalah; pertama memagari rumah tinggal entah itu rumah tinggal
laki-laki atau rumah tinggal perempuan. Kedua mengelilingi kebun agar babi atau
pencuri tidak masuk kedalam kebun.
Babi merupakan binatang piarahan yang berharga, cara memelihara
babi (orang Mee) adalah malam hari di masukan kedalam kandang (ekina owa).
Tetapi pada siang hari dibiarkan untuk berkeliaran di sekitar kebun atau rumah.
Orang Mee hingga saat ini masih belum mengenal cara memelihara ternak secara
moderen (dalam kandang).
Sistem pemeliharaan babi seperti ini membuat orang Mee, harus
berpikir untuk membuat pagar, agar makanan dalam kebun tetap tumbuh dengan
baik, tanpa gangguan dari binatan liar, terutama babi (ekina).
Ada tiga jenis pagar yang di buat oleh masyarakat suku Mee yang
di bedakan menurut bentuk, kualiatas bahan yang digunakan, ukuran, dan cara
pembuatan dari setiap pagar yang ada diantaranya;
1. Wee eda
adalah pagar ini di tanam secara vertikal. Secara kualitas
bahan, bila di banding dengan kedua jenis pagar, maka pagar ini memiliki
kualitas yang cukup tinggi. Pemilihan jenis pohon untuk pagar ini tidak
sembarang. Telah di tentutukan beberapa jenis pohon untuk membuat pagar. Jenis
pohon yang pakai untuk membuat pagar ini antara lain, Yewo (kayu besi), Digi/
Didame, Obai, Duigi, Amo.
Selain kualitas bahan yang memiliki tingkat ketahanan yang cukup
lama, pagar jenis ini juga sumber pendapatan uang (mege). Apabila suatu pohon
ketika di tebang atau di belah keras maka jenis pohon ini memiliki kualitas
ketahanan yang baik.
Pagar ini berfungsi sebagai, pertama pembatas tanah leluhur/
kebun, kedua pembatas rumah dengan rumah, ketiga mengelilingi kebun agar babi
tidak mencungkil makanan. Keempat mendirikan kandang ayam (bedo owa) atau babi
(ekina owa).
Lokasi pagar ini biasanya di dataran rendah, terutama untuk
kebun-kebun di sekitas rumah. Untuk kebun hutan (kebun yang di buat dengan
membersikan, menebang pohon disekitarnya) jarang di gunakan jenis pagar ini.
Umumnya pagar ini di gunakan untuk memagari rumah dengan kebun di sekitar rumah
yang terdapat banyak keliaran babi di sekitarnya.
(2) Petu Eda (Pagar Horinsontal)
Secara kualiatas bahan pagar ini masig lebih rendah dibanding
wee eda. Tidak tahan lama, karena menggunkan kualitas bahan rendah. Ukuran
pagar lebar±2cm, panjang ±200-300cm. Bentuk pagar ini adalah merupakan susunan
papan yaang disusun dari bawah keatas. Papan-papan ini diikat pada pagar yang
ditanam secara vertikal. Pagar ini muda di buat, sehingga waktu pengerjaan
membutuhkan waktu relatif singkat.
Pagar ini, dibuat pada lokasi tertentu yang ditentukan dari lingkungan
sekitrarnya. Misalnya, kebun hutan (bukit), lembah. Pemilihan pagar jenis ini,
yang digunakan pada kebun hutan dan lembah dengan pertimbangn. Pertama, mudah
mendapat bahan untuk membuat pagar. Kedua, jenis pagar yang bersifat sementara.
Ketiga muda disesuaikan dengan kontur tanah. Keempat, proses pengerjaan dan
pembuatan yang muda dan gampang.
(3) Tege Eda (Pagar Tiang)
. Pagar jenis ketiga yang dibuat oleh masyakat suku Mee adalah
tege eda. Secara kualitas bahan, serta ketahanan terhadap iklim sekitar sangat
relatif singkat. Bahan pembuatan pagar ini, diambil dari kayu yang masih muda
(baru tumbuh). Masyarakat Papua menyebut kayu buah.
Pagar ini digunakan untuk mengelilingi kandang ayam. Tetapi,
biasa digunakan untuk mengelilingi kebun atau rumah. Ukuran ketinggiannya lebih
tinggi.
3.Tipologi Arsitektur Jembatan Tradisional.
(1) Goo Koto (jembatan)
(Jembatan Gantung). Jembatan ini merupkan jembatan sangat
panjang. Fungsi jembatan ini adalah menyebragi ke kebun hutan atau luar kampung.
Bentuk jembatan ini adalah model jembatan gantung. Namun yang menjadi persoalan
atau bahaya adalah ketika menyebrang jembatan ini jatuh, maka manusia tersebut
tidak di selamatkan, karna hanyut dalam air.
(2) Koma Koto,
(Jembatan Model Perahu). Disebut jembatan model perahu karana
bentuk dan cara pembuatan jembatan ini seperti perahu tradisional. Panjangnya
jembatan ini ditentukan dari besar kecilnya kali atau sungai. Membuat jembatan
ini, di buat di hutan seperti perahu tradisional. Kualitas bahan (kayu yang
dipakai) adalah kayu besi (yeewo piya. Jenis kayu ini adalah salah satu jenis
kayu yang kuat dan besar. Panjang satu pohon mencapai 70-100meter.
(3) Tege Koto
(Jembatan Tiang). Tege koto, artinya jembatang tiang karena
hampir semua kayu yang dipakai adalah tiang. Bahan-bahan untuk membuat jembatan
ini dipilih beberapa jenis kayu berdasarkan kuliatas kayu. Kayu yang digunakan
untuk jembatan ini adalah amoo piya, digi piya, yegou dan beberapa jenis kayu
yang dianggap kuat dan bertahan terhap air.
Pada zaman dulu, pengikat antar tiang-tiang pada struktur utama,
tiang penyangga maupun struktur pendukung adalah tali. Jenis tali yang dipilih
adalah rotan dan beberapa jenis tali laninnya. Sesuai degnan perkembangan
zaman, saat dapat sangat terlihat beberapa rumah pagar dan jembatan menggunkan
paku dan kabel atau kawat besi.
(4) Piyauti Koto
(Jembatan Darurat), Jembatan ini di buat pada saat air sungai
pasang. Letak jembatan ini adalah di hutan karena memang di gunakan hanya untuk
menyebrang saat air sungai banjir. Jembatan ini juga model perahu, namun bisa
dikatakan jembatan darurat sebab sering terjadi banyak banjir saat musim hujan.
jadi Bahwa arsitektur adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia. Arsitektur tradisional suku Mee adalah SIMBOL PEMERSATU ide, perasaan, perbedaan pandangan. Suku Mee memandang Arsitektur tradisional adalah tempat dan hasil budaya . Di situ mereka memaknai setiap fenomena alam dan masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Pembentukan ruang pada arsitektur Suku Mee terjadi dengan memertimbangkan tradisi masyaraakat dan penggunaan bahan-bahan lokal. Karena itu arsitektur suku Mee adalah salah satu contoh timbal balik antara alam dan budaya manusianya (nature and culture) yang bagus. Hal ini perlu dikemukakan karena, perkembangan mutakhir, arsitektur tidak lagi meningindahkan tradisi dan bahan, bentuk lokal sehingga banyak darinya kehilangan identitas.
jadi Bahwa arsitektur adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia. Arsitektur tradisional suku Mee adalah SIMBOL PEMERSATU ide, perasaan, perbedaan pandangan. Suku Mee memandang Arsitektur tradisional adalah tempat dan hasil budaya . Di situ mereka memaknai setiap fenomena alam dan masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Pembentukan ruang pada arsitektur Suku Mee terjadi dengan memertimbangkan tradisi masyaraakat dan penggunaan bahan-bahan lokal. Karena itu arsitektur suku Mee adalah salah satu contoh timbal balik antara alam dan budaya manusianya (nature and culture) yang bagus. Hal ini perlu dikemukakan karena, perkembangan mutakhir, arsitektur tidak lagi meningindahkan tradisi dan bahan, bentuk lokal sehingga banyak darinya kehilangan identitas.
- Tingkat kesejateraan dan kemakmuran suku mee
Kesejahteraan dan kemakmuaran suatu bangsa dan etnis pada masa
primitive tergantung dari manusia dalam arti bahwa seseorang jika ingin
menajadi makmur maka seseorang memiliki sikap.
- Mempunyai kemauan yang keras dalam diri orang mee.
- Selalu berusaha keras memenuhi kebutuhan dengan cara-cara yang halal
- Tidak muda putus asa dengan mudah dan begitu saja.
- Siap mengambil resiko jika terjadi masalah pada usaha yang dimiliki contoh gagal panen.
- Selalu mencari peluang dan jalan keluar untuk pengembangan dan kemajuan usaha mereka.
- Menjadi manusia yang memiliki rasa miliki akan budayanya sendiri dan melestarikan dengan dasra bahwa budaya adalah landasan.
- Selalu bersyukur atas pemberian yang diberikan tuhan (ugatame).
- Menjadi berkat buat orang lain dalam arti bahwa memunculkan dalam hidup berkeluarga yaitu kasih yang di munculkan.
- Tidak sombong dan rendah diri.
Memang tanah besar papua mempunya kekayaan alam yang begitu
menjajikan. Didalam daerah orang sendiri terdapat kekayaan alam yang begitu
berlimpah dan menjanjikan pula. Namun daerah mee sediri menurut kata orang tua
bahwa “tanah itu hidup” dimana dikatakan anah itu hidup karena tanah adalah
sumber segala sesuatu dan asal manusia berasala dari tanah maka tanah itu harus
di hormati dengan cara melestarikan dan tidak membiarkan hutan gundul. Tanah
orang mee menurut mereka adalah tanah itu dimiliki bukan hanya mereka saja
melaikan dimilii oleh orang lain pula . sekarang muncul satu pertanyaan siapa
itu orang lain yang mereka maksud. Orang lain yang mereka maksud adalah orang
–orang yang mempunyai tanah itu “tuan tanah” (makipuwee)dan orang lain yang
menjaga hutang dengan dunia mereka sendiri yaitu abe (perempuan setan),tameyai
(setan terbang), yimiyo(setan rupa manusia), itu merupakan 3 komponen bersatu
namun manusia mee dan 3 dunia gaib tersebut adalah satu dalam bentuk lingkungan
fisik mereka. Kemakmuran dan kesejateraan bangsa mee di tentukan oleh mereka
sendiri. Manusia mee akan makmur jika dia selalu mengikuti beberapa sifat yang
sudah ada diatas di tambah dengan nilai-nilai hidup.beberapa nilai hidup mee adalah
:
- mogo kou ugatame-ugatame tetai (jangan menyembah berhala)
- ikepa yoko ugatame beu (jangan ada padamu allah lain)
- ugatame eka utopa teyabatai (jangan menyebut tuhan allahmu dengan sembarang).
- Daa nago yuwii (kuduskanlah hari sabat)
- Aku kai akaitai ya mana eyuwai (hormatilah ayah dan ibumu)
- Oma teyamoti (jangan mencuri)
- Puyamana tewegai(jangan bersaksi dusta)
- Mogai tetai (jangan bersinah)
- Okeiya agiyo aniya-aniya tetai (jangan miliki orang lain punya barang,jadikan milikmu )
Kesepuluh nilai-nilai hidup diatas harus dijadikan landasan atau
pondasi hidup dalam melangkah ke depan dalam mencari hidup yang lebih baik.
Tujuan dari sepuluh perintah allah adalah sebagai suatu pedomaan hidup untuk
berkarya di bumi ini. Sebagai manusia pastinya setiap individu di bumi ini juga
ingin sejahtera dan makmur di dalam kehidupan. Suku mee sendiri adalah salah
satu tipe suku yang nomaden dulu namun sejak mereka menetap di paniai maka
disalah mereka merasakan susah dan senang hidup ini yang selama itu mereka
belum pernah rasahkan mengapa karena selama mereka masih dikatan sebagai suku
yang nomaden berartti bahwa seluruh kehidupan mereka tergantung pada alam yang
mana mereka mencari kebutuhan sehari-hari lansung dari hutan dimana mereka bisa
dikatakan bahwa makanan yang mereka makan bukan olahan dan tidak memiliki bahan
kimia lain yang menyebabkan suku mee sendiri mempunyai umur yang cukup lama.
Pada
zaman modern ini penduduk papua khusus manusia mee masih dikatakan berada
dibahwah standar hidup yang rendah yang mana mereka untuk mencari sepiring nasi
untuk sehari saja susah pada hal tanah besar ini kaya akan kekayaan alam yang
begitu menjajikan. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan adalam mengapa masih
ada orang papua yang berada dibawah standar hidup yang rendah. Beberapa
indicator kemakmuran di tanah papua adalah :
Table social Indicators
2013
Penduduk miskin
|
Indek pembangunan
Manusia
|
Sumber penerangan
Listrik (%)
|
Akses air bersih
|
40.78
|
63.41
|
46.36
|
38.44
|
Jadi
dari table diatas dapat kita lihat bahwa papua merupakan suatu pulau yang kaya,
dari “KATA ORANG” bahkan kita sendiri bisa melihatnya dengan
mata telanjang bahwa kekayaan kita tersebut ada dimana-mana dan dalam rupa apa
saja baik itu emas, tambang minyak, air bersih yang dihasilkan hutan dan hasil
hutan lainya. namun disini saya mau katakan bahwa pemerintah harus bekerja
keras demi menjamin kesejateraan masyarakat ini karena dari table ini sangat
tampak bahwa sebagaian kecil dari masyarakat papua yang meningkmati kekayaan
alam papua namun itu juga secara tidak sempurna. Dari table diatas dapat kita
lihat bahwa 40,78% masyarakat papua berada dibawah standar hidup atau berada
dibawah standar hidup yang memperhatikan. dimana itu bisa dikatakan bahwa
mereka mencari makan pun susah. Sekarang jika kita bandingkan dengan indeks
pembagunan manusia atau pembagunan sumber daya manusia itu sudah 63,41% dan
jika kita bandingkan dengan dengan penduduk miskin maka kira-kira 2.59% manusia
papua yang sudah berpendidikan dan belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. jadi
itu berartri bahwa pemerintah provinsi papua tidak memberikan peluang dan
kempatan kepada generasi papua untuk berkarya diatas tanahnya sendiri mengapa
demiakian ? karena pemerintah provinsi papua tidak membuka lapangan pekerjaan
yang baru yang cocok untuk mereka. Sekarang untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari yaitu dari table diatas terdapat sumber penerangan sebesar 46,36%
dan akses air bersih 38,44% itu berarti bahwa 54,64% penduduk papua tidak
memakai penerangan yang mana sekarang dipapua sudah ada dana otonomi khusus
yang cukup besar namun banyak masyarakat pula yang tidak mengunakan aliran
listrik untuk menerangi rumah mereka. Disini masalah air bersih juga menjadi
masalah yang sangat besar untuk masyarakat papua dan menjadi suatu pekerjaan
rumah yang mau tidak mau perlu di tuntaskan tahap demi tahap untuk memberikan
suatu kesejahteraan merata. Dalam hal ini air bersih adalah kebutuhan pokok
rumah tangga yang perlu di tuntaskan dimana jika kita lihat, maka terdapat
kira-kira 61,56% penduduk papua yang tidak mengunakan air bersih untuk
kebutuhan konsumsi mereka tiap harinya. Sekarang kita akan lihat berapa besar
banyak manusia papua yang sedang diberdayakan dan berapa banyak manusia papua
yang masih buta huruf.
Dengan
dimikian diatas dapat kita ambil pendapat baru bahwa ini semuncul dari
kesalahan transpofasi bahasa alkitab ke dalam bahasa budaya dengan contoh
konkrit adalah pikeda. Dimana seiring dengan perkembangan zaman yang begitu
menjajikan dengan banyaknya peluandan yang cukup banyak dan kesempatan untuk
bekerja namun disini dari itu sebuah ancaman dan worning yang diantaranya
adalah sebagai berikut
- Ancaman genoside
- Ancaman masuknnya budaya baru dari luar yang mengacurkan (breaking down) budaya asli (original) yang ada di dalam suku-suku di papua khussunya suku mee.
- Ancaman dari dunai IPTEK adalah manusia dipaksa untuk mengetahui suatu ilmu pasti dan alam dengan tidak memikirkan baik buruknya masalah itu sendiri.
- Masalah ini juga berasal dari IPTEK yaitu pornografi.
Dan ada juga masalah lain yang mengahambat pertumbuhan SDM dalam
budaya ini adalah
- Factor kesalah fahaman budaya
Factor ini bisa muncul sebab seorang tidak di didik melalui
budaya
Tinjauan Cultural suku Mee sebagai langkah menuju preventif
Manusia cenderung untuk
mengembangkan, aspek-aspek kehidupannya, sampai mencapai suatu derajat
kehalusan atau kompleksitas tertentu. Kemampuan manusia untuk melakukan hal
itu, kadang-kadang menutupi kenyataan, bahwa mungkin manusia menghadapi
masalah-masalah dasar yang harus diatasinya, apabila dia ingin mempertahankan
eksistensinya. Masalah-masalah tersebut tidak hanya menyangkut eksistensinya
secara fisik, akan tetapi juga secara sosial. Unsur-unsur dasar dari kehidupan
sosial adalah syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi, demi eksistensinya
suatu kehidupan sosial. Unsur-unsur dasar tersebut merupakan kondisi-kondisi
yang harus dipelihara dan dikembangkan, agar kehidupan sosial dapat bertahan.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, manusia mengembangkan
pola-pola perilaku yang dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk dasar dari
organisasi sosial. Pola-pola tersebut antara lain, mencakup adat-istiadat yang
paling sederhana sampai pada hal-hal yang relatif kompleks. adat-istiadat (custom) atau
secara alternatif sering disebut juga kebiasaan (folkways)merupakan
istilah yang menunjuk perilaku yang khusus dan distandarisasikan yang merupakan
kebiasaan bagi penganut-penganut suatu kebudayaan tertentu. Seperti yang
dikatakan oleh Edwar Tylor (1832-1917), bahwa “kebudayaan
(klasik) adalah setiap hasil perilaku manusia yang kemudian diajarkannya kepada
generasi-generasi berikutnya yang pada gilirannya mengakumulasikan serta
mentransmisikan pengetahuannya.Pengertian tersebut dapat diterapkan pada suatu
perilaku yang secara relatif, sederhana misalnya, memberi salam kepada seorang
sahabat, sampai pada peristiwa-peristiwa yang agak kompleks seperti, misalnya
perkawinan, upacara adat, dan lain-lain”.
Hubungan antara pola-pola adat-istiadat dalam suatu masyarakat
biasanya terorganisasikan sedemikian rupa sehingga berkaitan dengan
masalah-masalah atau tujuan-tujuan tertentu. Pola atau perangkat adat-istiadat
tertentu, dinamakan peranan (role). Peranan berhubungan erat dengan
harapan-harapan mengenai perilaku-perilaku yang dianggap pantas.
Peranan-peranan tertentu bersifat terbuka dan dapat diberikan kepada setiap
warga masyarakat. Sehingga dapat dijadikan suatu tolok ukur berdasarkan
pendapat Edwar Tylor, yang menyatakan bahwa
kebudayaan/peradaban merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup, pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan serta
kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga dari suatu masyarakat.
Perkembangan
perubahan kebudayaan suku Mee
Nama yang diturunkan oleh leluhur suku adalah Mee. Mee berarti
orang-orang yang telah dipenuhi dengan akal budi yang sehat; dapat berpikir
secara logis; dapat membedakan suku ini dari suku yang lain; dapat membedakan
barang miliknya dengan milik orang lain; daerah garapannya dengan garapan milik
orang lain; dan dapat mentaati amanat-amanat yang diwariskan oleh leluhur, dan
amanat yang paling utama yang dilarang adalah hal perzinahan. (Asmara
Adhy, 1980:71). Suku Mee dikenal sebagai “petani” ubi jalar,
talas, sayur-mayur, tebu dan buah-buahan. (Slamet Ina E.,
1964:35). Kedua hal ini menjadi fokus tinjauan perkembangan
kebudayaan suku Mee pada masa kini.
Ada
sedikitnya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sebagai tolok ukur dan bahan
analisis agar pemahaman kita dapat tertuju pada tujuan pokok penulisan judul
opini, yaitu:
- Mengapa suku Mee sekarang tidak dan jarang melakukan pesta budaya “yuwo” yang pada masa-masa lalu ini merupakan kegiatan tradisi suku Mee?
- mengapa orang Mee sekarang tidak kenal daerah-daerah yang dikeramatkan oleh leluhur/orang tua untuk terus dilindungi tetapi yang terjadi adalah dibongkar untuk membuat kebun, rumah dan atau kandang ternak?
- Mengapa orang Mee sekarang tidak lagi memegang dan atau menyimpan benda-benda keramat dan benda-benda antik?; yang dulunya oleh leluhur kita menggunakan itu untuk mengatur dan mempertahankan hidup yang baik.
- Mengapa orang Mee sekarang pada usia remaja bisa pacaran dengan romantis hingga pada etape erotisme yang susah dikendalikan? Padahal, dahulu hal demikian disebut mogaii dan sangat tabu dilakukan oleh suku Mee karena peranan tradisi adat-istiadat yang kuat dan baik sehingga sangat ditakuti untuk dilakukannya.
- Mengapa orang Mee sekarang jarang menanam ipoo untuk koteka, Tawa (rokok)? Padahal, kedua tumbuhan ini sangat diperhatikan oleh kaum lelaki suku Mee pada zaman dulu.
Dari sekian pertanyaan di atas ini menunjukkan adanya perubahan
yang terjadi secara signifikan dalam tradisi suku Mee akibat perkembangan arus
globalisasi. Perkembangan globalisasi ini disertai aroma budaya luar (modern)
yang menyebar luas dan dalam berbagai bentuk yang cenderung mempengaruhi aspek
kehidupan suku Mee. Faktor yang cenderung mempengaruhi perubahan tradisi suku
Mee adalah: Aspek Masuknya Agama dan aspek masuknya Pemerintah.
Aspek
masuknya Agama pemenjadi awal perubahan (difusi antarmasyarakat) budaya di
kalangan suku Mee karena orang asing pertama yang menginjakkan kaki di tanah
Paniai adalah seorang imam yang dapat menyebarkan agama. Pengaruh daripada
masuknya agama ini tidak dapat merubah suatu sistim budaya Mee secara
menyeluruh (universal). Akan tetapi sebagian yang diangap berlawanan dengan
ajaran agama.
Aspek
mesuknya pemerintah di wilaya paniai mengakibatkan sistem cultural suku
Mee dapat mengalami suatu perkembagan sistem pemerintahan yang ada. Sitem
pemerintahan yang ada dipimpin oleh Tonawi (kepala Suku) Namun masih terbatas
pada suatu wilaya yang dibatasi oleh gunung, sungai, danau dan lainnya.
Disamping itu juga Tonawi ditentukan berdasarkan kekayaan dan cara bertanggung
jawab demi kepentingan umum.
Hal
perluh diketahui bahwa ada beberapa unsur budaya suku Mee yang mengalami
perubahan maupun perkembangan yang drastis adalah unsur budaya
pemerintahan(tonowi, meibo) , unsur kepercayaan (mogai daa, kegotai), unsur
berpakaian (koteka, Moge) dan unsur ekonomi (Mege).
- Tradisi-tradisi suku mee
Sebagai salah satu suku yang terbesar di papua dimana suku mee
termasuk kedalam 5 suku terbesar dipulau papua memiliki peran aktif dalam
pembagunan daerah dan pembangunan manusia secara tradisional yang nantinya akan
membentuk manusia handal di profesinya masing-masing. pada sasarnya suku telah
berkembang di paniai sejak 4 abab yang lalu dimana ekspedisi mereka dimulai
dari png menuju oksibil dari oksibil menuju wamena lebih tepatnya di lembah
baliem (gua pasema) mereka masih nomaden. suku ini membentuk jti diri mereka
dari situ membentuk prinsip hidup, membentuk nilai,norma, aturan,kaidah,
filosofi tradisional, dan ideologi yang menjadi dasar mereka untuk membangun
mansyarakat mee yang utuh dan mempunyi seperangkat media komunikasi,
tranformasi kepada generasi penerus yang baik. Memang suatu perkembangan harus
diawali dengan suatu perkembangan susah payah namun hasil dari keringat kita
keluarkan akan mengasilkan berkat yang melimpah bagi orang lain dan kita
sendiri akan emndapatkan upah yang setimpal disurga. Suku memiliki banyak
tradisi dan upacara adat beberapa uapacara adat yang dipunyai ataralaina adalah
- Yuwo (pesta emas), gold party
- Kamutai
- Ipuwe witogai
- Wodauwaga wati membatasi kelakuaan atau dosa dari kakek
- Eba mukai pengumpulan dana
- Gaupe untuk pemberian nama kepada laki-laki dewasa
- Kaboduwai untuk membatasi suatu penyakit yang melanda suatu marga
- Owoupuwe witogai karena kelaparan
- Madou kamu 7 hari 7 malam harus didalam rumah
- YUWO (pesta emas atas pesta puncak)
Yuwo menurut salah seorang tokoh adat THOBIAS DUKOTO dari
kampung Buah yaitu pesta adat untuk mencari dana atau pusat pencarian dana
beberapa fungsi yuwo . yuwo ini biasaya
- Mencari jaringan marga dari nenek moyang dahulunya ada dimana yuwo dijadikan sebagai sarana komunikasi perkenalan.
- Sebagai penentu temperature ekonomi suatu wilayah di daerah paniai
Yuwo memiliki pernana penting dalam perkembangan suatu daerah
dengan kenikan tersebut yang dimilikinya maka disini yuwo. Sesuai dengan fungsi
yuwo sebagai penentu temperature ekonomi maka beberpa hal yang dilaksanakan
dalam yuwo dalam bentuk kegiatan transaksi jual beli adalah.
- Komuditi yang dijual
Babi (ekina)
Petatas (dugii)
tebu (eto)
Yatu
Kulit kayu (bebi)
Daun pandang (koboye)
Busur dan anakpanah (uka
mapega)
- Prosesi berjalanya yuwo
Tahap pertama
Perencenaan adalah suatu rapat tradisional yang dilakukan oleh
komunitas diasuatu kampung dengan topic pembicaaan adalah bagaimana yuwo
tersebut dapat kita mabil dan diadakan di wilayahnya. Dengan hal ini mengecek
kesiapan masyarakat setempat untuk mengambil yuwo (yuwo moti) artinya keputusan
mengambil yuwo
Sesudah
perencanaan matang dimana ditputuskan untuk mengambil yuwo sudah di sahkan
untuk melakukana cara tersebut maka selanjutnya adalah penembangan pohon ange
adalah untuk mengambil yuwo dengan membunuh satu ekor babi dan dikhususkan
untuk laki-laki. Pada acara penembangan onage ini ada satu larangan yaitu kayu
onage yang di tebang pertama tidak boleh terkena atau sentuh tanah dan onage tersebut
di letakan di atas keyage (para-para).ada beberap hal yang di perhatikan adalah
Jika sejalan dengan penebangan pohon onage jika ada sekor burung
nuri lewar disitu maka akan terjadi malapapetaka yaitu orang yang menebang
pohon tersebut akan meninggal.
jika ada seekor burung
wogiyo maka istri dari orang yang menebang pohon tersebut akan meninggal.
Ada beberpa hal yang
menguntungkan ditu sewaktu penebangan pohon adalah jika terdapat banyak sarang
semut atau kutu busuk maka akan banyak mendapat rejeki pada pesta tersebut.
Pengambilan kayu rumah
yuwo (yuwo owa)
Beberapa kayu diambil untuk pembuatan yuwo owa adalah :
Onage untuk alas bawah
Sebagai pemeleh luah
adalh pohon obay
Sebagai ibu tiang adalah
katu besi (kayu digi atau amo)
Pada bagian pondasi pohon yang sudah di tujukan untuk pembuatan
pondasi harus langsung di tanam dan jika pembuatan rumah tersebut di mulai maka
harus diselesaikan dalam sehari rampun. Sesudah pembuatan yuwo owa tersebut
yang boleh masuk pada malam itu adalah hanya laki-laki yang di perbolehkan
untuk menginap pada malam pertama rumah tersebut telah jadi.pada malamnya nanti
di iringi dengan lagu daerah dan orang yang datang dari daerah lain boleh
tinggal di daerah tersebut beberapa hal yang penting adalah para tamu yang datang
untuk bertamu tersebut harus di berikan makan oleh orang-orang di kampung
dimana terselenggaranya acara tersebut
PEMECAHAN RECORD PELUNCURAN PENERBITAN BUKU
MENETAPKAN IDENTITAS DIRI MANUSIA MEE
DI PAPUA PADA MASA ERA TANTANGAN DUNIA GLOBALISASI
DI PAPUA PADA MASA ERA TANTANGAN DUNIA GLOBALISASI
Mengarahkan dan menyesuaikan diri dalam tantangan perubahan pada masa era global menuju menata menetapkan identitas diri budaya dan adat istiadat manusia mee di papua. Dan sebagai sebuah buku penyelamat identitas diri kehidupan manusia mee, dari kehilangan tantangan dunia globalisasi yang sedang menindihkan dan menghapus budaya lokal Mee dari budaya-budaya luar secara global semakin berkembang pesat dan cepat.
I .LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN
Perkembangan perubahan dunia semakin panas dan semakin cepat roda berputarnya dunia era globalisasi untuk menguasai budaya-budaya global terhadap budaya lokal yang masih belum meningkatkan taraf hidup dan menetapkan identitas diri mereka standarisasi dengan era modernisasi. Budaya dan adat istiadat lokal tidak akan berlaku lagi, semakin menindas dan sedang pemprosesan menghapuskan budaya lokal dari budaya-budaya (luar) baru atau budaya global.
Melatar belakangi dengan peluncuran buku manusia mee di papua adalah wahana terbaik bagi kita semua. Baik suku mee itu sendiri untuk mengenal dan mengetahui menguasai apa itu budaya dan adat istiadat ada pada suku mee dulu, kini dan masa depan suku bangsa mee itu sendiri. Dan pada umumnya suku-suku bangsa yang lain untuk memerlukan menata diri menyesuaikan tantangan perubahan dunia globalkisasi. Buku tersebut sebagai jembatan gambaran yang sangat menarik apa itu identitas diri suatu suku bangsa berdasarkan adanya budaya dan adat istiadat pada suku bangsanya sendiri.
Berdasarkan itu; penulis lebih tau harapan-harapan suatu suku bangsa kini menuju ke masa depan atas perkembangan budaya-budaya dunia global dari arah barat menuju ke timur dan dari arah timur menuju ke arah barat. Hal itu sebagai tantangan perputaran penukaran perubahan pergantian hawa budaya suatu suku bangsa tanpa nalar maupun secara nalar. Dalam arti bahwa suatu suku bangsa mempunyai identtas diri berdasarkan evolusi penciptanya, maka atas itu penyesuaian suatu suku bangsa berdasarkan itu atau tidak. Kalau orang yang sudah lebih tau mengenal tentang perubahan-perubahan cuaca budaya dunia global ini, pasti ia menstandarisasi dengan budaya global itu, sedikit demi sedikit budaya yang telah miliki pada sukunya sendiri.
Sama halnya atas peluncuran buku “manusia mee di papua” oleh Titus Pekey, dalam buku ini terkupas terkait secara umum. Maka isi dalam buku itu bukan hanya suku mee saja, tetapi kata-kata pada judul buku dan isi pada buku itu terpukul secara umum suku bangsa manusia sejatai di papua dan manusia sejati yang ada di belahan dunia lain. Sebab; isi dari pada buku tersebut di gunakan dengan kata-kata lazin yang di pake oleh Antropolog-antropolog dunia di dasari pada suatu suku bangsa secara nyata dan yang benar atas di telitinya. Sebagai salah satu buku yang tinjauannya menyelamatkan suatu suku bangsa yang sedang dalam penindasan dan penganiayaan seperti manusia yang tidak punya tata identitas evolusi suku bangsanya di pandang dari budaya-budaya luar.
Tujuan dan arti makna dari pada penerbitan buku tersebut, adalah untuk menetapkan dan menanamkan modal hidup suku bangsa mengarah kehidupan yang lebih aman atas budaya dan adat istiadat mereka.
Penerbitan buku tersebut dapat di artikan sebagai salah satu bahana mengarah ke pembangunan di era global, pembangunan daerah dapat membudayakan sesuai lingkungan kondisi yang ada di daerah itu.
Dapat memaknai pada penerbitan buku itu adalah meneropong dan membuka pintu dari dunia lokal membawa ke dunia internasional bagi suatu suku bangsa menuju menstandarisasi dengan budaya-budaya globalisasi. Dan serta mengkaderasikan anak negeri kedepan berdasarkan budaya dan adat istiadat mereka.
II.JUDUL BUKU “MANUSIA
MEE DI PAPUA.
A. ARTI KATA
PADA JUDUL BUKU
Pengertian Judul buku “manusia mee di papua” secara singkat jelas dan tuntas serta dapat di pakai hanya tiga kata, tetapi arti dan makna dari pada judul tersebut berharga dan bermakna secara luas penjelasannya. Bisa sampai terobosan dunia hanya tiga kata saja tersebut.
Atas pengambilan penerbitan judul buku itu bukan karena pengikut jalur semasa, akan tetapi judul tersebut, judul alami bertumbuh dan berkembang hidup bersama dengan si penulis buku itu.
Maka penulis ambil dua kata berkonsonan yang sama dan tinggi Cuma hanya beda konsonan unkapan pemakai kata yaitu; Manusia adalah konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa indonesia nasional, dan Mee adalaha konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa daerah lokalitas, sekaligus dengan nama suku bangsa Mee
Manusia dan Mee adalah satu bukan beda, hanya beda karena bahasa nasional indonesia dan bahasa mee lokalisasi suku mee itu sendiri. Dapat di artikan kedalam lagi; bahwa “manusia sejati”. Namun pengambilan judul juga tidak salah, sesuai dengan pengalaman hidup penulis, pada suku bangsa sendiri.
B. PENGGUNAAN BUKU
Secara filosofi judul yang telah di terbitkan dan isinya sangat bermakna dan sangat menarik dapat di manfaat berguna bagi jurusan filsafat humaniora dan jurusan antopologi, sosiologi serta jurusan-jurusan terkait lain umumnya. Sebab judul tersebut adalah sebagai salah satu penyelamat suatu bangsa dari kehilangan identitas diri sebuah suku di tenga tantangan budaya global.
Dan buku ini juga, dapat berguna bagi tim-tim pro mempertahankan diri sebagai dasar pondasi hidup (demokrasi kesukuan), pecinta suku bangsa sendiri untuk membangun dan mengarahkan secara logistic objektifitasnya mengarah ke membangun secara adil dan merata pada suku bangsa itu sendiri. Serta dengan menidentitaskan secara kesejarahan evolusi pada suku itu sendiri, dan juga para mengkaderasi generasi dari kedaerahan lokalistik menuju menata di depan dunia umum.
Paling pokok mendasar pada Buku ini adalah sebagai salah satu menyembuhkan luka batiniah (luka hati dan luka perasaan kesedihannya) pada suku bangsa yang sedang tertindas dan menghapuskan sedikit demi sedikit dari budaya luar lainnya. Gambaran yang sangat memudahkan dan mendukung anda untuk mengikut langkah-langkah mengidentitaskan diri dengan jalur budaya global.
Maka buku ini dapat di uraikan dan dapat di jelaskan pada judul yang telah di terbitkan oleh Titus Pekey sebagai salah satu penyelamatan suatu suku bangsa yaitu suku bangsa mee di papua menguraikan sisi evolusi identitas diri manusia mee di papua itu sendiri.
C. ISI BUKU
Isi buku disini sangat menarik kajian-kajian sosial budaya antropologis dan sosiologis serta tinjauan filosofi humaniora yang sangat menarik bagi pembaca secara umum dan secara khusus bagi generasi menerobos daerah suku bangsa mee paniai papua, suku bangsa papua pada umumnya, dan bagi jurusan yang terkait sebagai gambaran. Sebab dalam buku ini, kajian-kajian semua terkupas dengan tajam. Baik terkupas dari bahasa lokal di terjemahkan dalam bahasa indonesia serta bahasa inggris.
Kata tersebut bukan hanya terkupas daerah suku bangsa mee saja, dia ambil mengupas garis tengah dari semua suku bangsa tinjauan moralitas hidup di suatu suku bangsa itu sendiri. Sebabgai salah satu membuka wahana keberlanjutan bagi kaum minkoritas semua suku bangsa di dunia.
Bab dan halaman buku
Bab dan halaman buku dari pada buku yang telah terbit ini, kami tidak dapat di jelaskan dan kami tidak dapat di uraikan. Maka bab dan halaman buku, ada pada buku itu sendiri.
Menarik perhatian pada isi buku
Menarik perhatian pada isi buku tersebut adalah kutipan-kutipan dan kajian-kajian yang sangat tajam dalam penulisan buku tersebut.
Ia kutipkan kalimat-kalimat yang sudah di akui berbagai tulisan di buku-buku maupun tanggapan-tanggapan melalui wawancara dengan bersama para bergelar Prof. Dr yang terkenal di internasional maupun nasonal di berbagai Universitas di dunia. Dan di daerah lokal adalah orang pencetus budaya lokal dengan tanah baik sudah sekolah mendapat bergelar Drs maupun tidak sekolah pengguna budaya dan adat istiadat itu sendiri. Sebagai mendukung harapan untuk menyelamatkan dan mengarahkan menata identitas diri pada khususnya manusia mee di papua pada era globalsasi ini. Dan terpucuk pada umumnya suatu suku bangsa yang sedang meraja lela untuk mengikuti dan mempromlosi identitas diri di dunia globalisasi ini.
III.PENUTUP
Sebagaimana telah di jelaskan dalam uraiaan tersebut diatas maka, info terlengkap dan lain sebagainya semua ada di tangan penulis buku itu sendiri dan ada dalam penjelasan bab-bab dan halaman pada buku tersebut, penjelasan isi buku lengkap dan akuratnya. Maka siapa mau beli buku tersebut harap kirimkan info terlebih dahulu melalui email :
Sekian atas pengunjung dan pembeli pada buku tersebut kami tak lupa terima kasih. Tuhan Memberkati, Amin
Admin, apakah buku tentang "manusia mee di papua" itu apakah masih ada? Mohon di jawab!
BalasHapus